indocomtech2010

indocomtech2010
0

Selasa, 30 November 2010

your tale

Sebelum dirimu hadir..
hidupku hanya terlihat hitam dan putih..
Begitu membosankan..
kemudian dirimu datang dengan sejuta warna itu..
aku terkagum melihat kelihaianmu..
Kau beri damai warna biru di langit dan samudera..
kau torehkan sejuk hijau di atas padang rerumputan..
bahkan dengan lembut kau menaruh sebuah pelangi di mataku..
hari2 begitu menyenangkan saat ada kamu..
hari2 dmn aku hampir tidak bisa berhenti tersenyum..
tapi akhirnya kaupun pergi..
membawa kembali semua warna yg dulu kau beri..
kau cabut dengan tegas pelangi itu dr mataku...
bahan warna putih terakhirku pun mulai memudar..berpendar.. dan menghilang.. bersamamu..
duniaku menjadi hitam.. gelap.. keadaan perih yg tak pernah ak rasakan sebelumnya..
yg terasa hanyalah sebuah lubang menganga di dadaku..
kau tidak menghancurkanku..
kau hanya membuatku tiada..

Rabu, 10 November 2010

midnight sun indonesia 6

6. Golongan Darah
Aku mengikuti Bella seharian melalui pikiran orang-orang disekitarnya, aku hampir
tidak sadar dengan sekelilingku sendiri.
Tapi aku menghindari Mike Newton, aku sudah tidak tahan lagi dengan khayalannya.
Dan juga tidak lewat Jessica Stanley, kesinisannya pada Bella membuatku marah, dan itu
berbahaya bagi gadis picik itu. Angela Weber pilihan yang bagus ketika matanya tersedia; dia
bersahabat—kepalanya tempat yang nyaman. Tapi seringnya, para guru. Mereka
menyediakan pandangan yang paling baik.
Aku terkejut, melihat betapa seringnya dia tersandung—tersandung pada rekahan di
trotoar, stray books, dan, paling sering, kakinya sendiri. Teman-temannya menilai Bella orang
yang kikuk.
Aku mempertimbangkan hal itu. Memang benar, dia sering kesulitan berdiri dengan
baik. Aku ingat ia tersandung meja pada hari pertama dulu, terpleset-pleset diatas es,
tersandung ujung pintu kemarin... aneh sekali, mereka betul. Dia orang yang kikuk.
Entah kenapa ini begitu lucu untukku, tapi aku tergelak selama perjalanan dari kelas
sejarah ke kelas Inggris. Orang-orang melihatku khawatir. Bagaimana bisa aku tidak
menyadari ini sebelumnya? Mungkin karena ada sesuatu yang anggun ketika ia sedang diam,
caranya memegang kepala, bentuk lengkung lehernya...
Tapi, tidak ada yang anggun darinya sekarang. Mr. Varner melihat bagaimana ujung
sepatunya tersandung karpet hingga dia jatuh ke kursinya.
Aku tergelak lagi.
Waktu berjalan lamban selama menunggu untuk bisa melihat dia langsung. Dan
akhirnya, bel berbunyi. Aku cepat-cepat menuju kafetaria untuk menempati tempatku. Aku
yang pertama kali sampai. Aku memilih meja yang biasanya kosong, dan akan tetap begitu
dengan aku disini.
Saat keluargaku melihat aku duduk sendirian di tempat yang baru, mereka tidak kaget.
Alice pasti telah memberitahu mereka.
Rosalie lewat tanpa menoleh.
115
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Idiot.
Hubunganku dengan Rosalie tidak pernah baik—aku sudah membuatnya kesal dari
pertama dulu dia mendengarku bicara, dan selanjutnya makin parah—tapi beberapa hari ini
kelihatannya dia jadi jauh lebih sensitif. Aku menghela napas. Rosalie selalu menganggap
segalanya tentang dia.
Jasper setengah senyum padaku saat lewat.
Semoga sukses, pikirnya setengah hati.
Emmet memutar bola matanya dan menggeleng-geleng.
Dia sudah gila, kasihan kau nak.
Alice berseri-seri, giginya berkilauan terlalu terang.
Boleh aku bicara dengan Bella sekarang??
“Jangan ikut campur,” dengusku dari balik napas.
Wajahnya meredup, tapi kemudian berseri lagi.
Baik. Semaumu saja. Toh, saatnya akan tiba juga.
Aku menghela napas lagi.
Jangan lupa tentang eksperimen biologi hari ini, dia mengingatkan.
Aku mengangguk. Tidak, aku tidak lupa itu.
Sambil menunggu Bella datang, aku mengikuti dia lewat mata seorang murid yang ada
di belakang dia dan Jessica. Jessica sedang sibuk berceloteh tentang pesta dansa yang akan
datang, tapi Bella sama sekali tidak menanggapi. Bukan berarti Jessica memberinya
kesempatan.
Tepat saat Bella masuk, matanya langsung tertuju ke meja tempat keluargaku duduk.
Dia memperhatikan sebentar, kemudian keningnya berkerut dan matanya jatuh memandang
ke lantai. Dia tidak menyadari aku ada disini.
Dia terlihat sangat...sedih. Seketika muncul dorongan kuat untuk bangun dan pergi ke
sisinya, untuk menenangkan dia. Hanya saja, aku tidak tahu apa yang bisa membuatnya
nyaman. Karena, aku sama sekali tidak tidak tahu apa yang membuatnya sedih begitu. Jessica
terus mengoceh tentang pesta dansa. Apa dia sedih karena tidak bisa ikut? Kelihatannya
bukan karena itu...
Tapi, itu bisa diatasi, jika memang itu maunya.
116
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Dia membeli sebotol limun untuk makan siang, tidak lebih. Apa itu baik? Bukannya dia
butuh lebih banyak nutrisi dari sekedar itu? Aku tidak terlalu paham pola diet manusia.
Manusia betul-betul sangat rapuh! Ada jutaan macam hal yang mesti dikhawatirkan...
“Edward Cullen sedang menatapmu lagi,” aku mendengar Jessica bicara. “Kira-kira
kenapa dia duduk sendirian hari ini?”
Aku berterima kasih pada Jessica—meskipun dia jauh lebih sewot sekarang—karena
Bella langsung mendongak dan padangannya mencari-cari hingga akhirnya bertemu
denganku.
Sekarang tidak ada lagi jejak kesedihan di wajahnya. Aku membiarkan diriku berharap
bahwa dia sedih karena dipikirnya aku sudah pulang, dan harapan itu membuatku tersenyum.
Aku memberi isyarat dengan jariku untuk mengajaknya bergabung denganku. Dia
terlihat kaget sekali, dan itu membuatku tambah ingin menggodanya.
Jadi, aku mengedip. Dan dia terlongo.
“Apa yang dia maksud kau?” tanya Jessica kasar.
“Mungkin dia butuh bantuan dengan PR biologinya,” jawabnya pelan dan ragu-ragu.
“Mmm, aku sebaiknya kesana untuk mencari tahu apa maunya.”
Itu satu lagi jawaban ya.
Meski lantainya rata, dia tersandung dua kali sebelum sampai ke mejaku. Sungguh,
bagaimana bisa aku melewati hal ini sebelumnya? Sepertinya aku terlalu memperhatikan
pikirannya yang tak bersuara... Apa lagi yang kulewatkan?
Tetap jujur, tetap santai, aku mengulang-ulang dalam hati.
Dia berhenti di belakang kursi di seberangku, ragu-ragu. Aku mengambil napas dalamdalam,
kali ini melalui hidung, bukan lewat mulut.
Rasakan apinya, pikirku kering.
“Kenapa kau tidak duduk denganku hari ini?” pintaku padanya.
Dia menarik kursi dan duduk, menatapku beberapa saat. Dia terlihat gugup, tapi dari
sikapnya, lagi-lagi itu jawaban ya.
Aku menunggu dia bicara.
Butuh beberapa saat, tapi akhirnya dia berkata, “Ini tidak seperti biasanya.”
“Well...” Aku bimbang. “Mengingat aku toh bakal ke neraka juga, jadi kenapa tidak
117
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
sekalian saja.”
Ugh, kenapa aku mesti mengatakan itu? Tapi sudahlah, paling tidak aku jujur. Dan
siapa tahu dia mendengar peringatan tersembunyiku. Mungkin ia akan sadar harus bangun
dan pergi secepatnya...
Dia tidak berdiri. Dia menatapku, menunggu, seakan kalimatku belum selesai.
“Kau tahu, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu,” ujarnya akhirnya..
Itu sangat melegakan. Aku tersenyum.
“Aku tahu.”
Sangat sulit mengabaikan pikiran-pikiran yang meneriakiku dari balik punggungnya—
dan lagipula aku juga ingin mengganti topik.
“Kurasa teman-temanmu marah padaku karena telah menculikmu.”
Nampaknya itu tidak membuatnya risau. “Mereka akan baik-baik saja.”
“Aku mungkin saja tidak akan mengembalikanmu.” Aku sama sekali tidak tahu apa
sedang berusaha jujur, atau sedang menggodanya. Berada di dekatnya membuatku sulit
menggunakan akal sehat.
Bella menelan ludah.
Aku tertawa melihat ekspresinya. “Kau tampak cemas.” harusnya ini tidak lucu...
Harusnya dia khawatir.
“Tidak.” dia tidak pandai berbohong; sama sekali tidak menolong saat suaranya
bergetar. “Terkejut, sebetulnya... apa yang menyebabkan ini semua?”
“Sudah kubilang,” aku mengingatkan dia. “Aku lelah berusaha menjauh darimu. Jadi
aku menyerah.” aku menjaga senyumku dengan susah payah. Tidak mungkin bisa berjalan
seperti ini—bersikap jujur sekaligus santai di waktu bersamaan.
“Menyerah?” dia mengulangi, heran.
“Iya—menyerah berusaha bersikap baik.” Dan, tampaknya, menyerah untuk bersikap
santai. “Sekarang aku akan melakukan apa yang kumau, dan membiarkan semuanya terjadi
sebagaimana mestinya.” Itu cukup jujur. Biarkan dia melihat keegoisanku. Biarkan itu
memperingatkan dia juga.
“Lagi-lagi kau membuatku bingung.”
Aku cukup egois untuk merasa lega atas hal itu.
118
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Aku selalu berkata terlalu banyak kalau sedang bicara denganmu—itu salah satu
masalahnya.” Masalah yang jauh lebih sederhana dibanding masalah lainnya.
“Jangan khawatir,” dia meyakinkan aku. “Aku tak mengerti satupun ucapanmu.”
Bagus. Maka dia akan tinggal. “Aku mengandalkan itu.”
“Jadi, terus terang, apakah sekarang kita berteman?”
Aku mempertimbangkan itu sebentar. “Teman...” aku mengulangi. Aku tidak terlalu
menyukai kedengarannya. Itu belum cukup.
“Atau tidak,” gumamnya malu.
Apa dia pikir aku tidak menyukai dia sebesar itu?
Aku tersenyum. “Well, kurasa kita bisa mencobanya. Tapi kuperingatkan kau, aku
bukan teman yang baik untukmu.”
Aku menunggu responnya—berharap akhirnya dia mendengar peringatanku dan
mengerti, tapi membayangkan kalau mungkin saja aku mati jika dia pergi. Betapa
dramatisnya. Aku jadi berubah seperti kebanyakan manusia lainnya.
Jantungnya berdebar lebih cepat. “Kau sering bilang begitu.”
“Ya, karena kau tidak mendengarkan.” Aku mengatakannya dengan bersungguhsungguh.
“Aku masih menunggu kau mempercayainya. Kalau pintar, kau akan
menghindariku.”
Ah, tapi apa aku akan tetap tinggal diam, jika dia mencobanya?
Matanya menyipit. “Kurasa penilaianmu atas intelektualitasku cukup jelas.”
Aku kurang yakin apa maksudnya, tapi aku tersenyum minta maaf, menebak mungkin
aku telah menyinggungnya secara tidak sengaja.
“Jadi,” katanya pelan. “Selama aku adalah...orang yang tidak pintar, kita akan
berteman?”
“Kedengarannya masuk akal.”
Dia menunduk, menatap lekat-lekat botol limun di tangannya.
Rasa penasaran itu kembali menyiksaku.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Rasanya lega akhirnya bisa mengucapkan pertanyaan
itu keras-keras.
Kami bertemu pandang, dan napasnya bertambah cepat sementara pipinya merona
119
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
merah muda. Aku menarik napas, merasakannya di udara.
“Aku sedang mencoba menebak siapa sebenarnya kau ini.”
Aku menahan senyum di wajahku, mengunci mimikku seperti itu, sementara panik
merayapi tubuhku.
Tentu saja ia sedang memikirkan hal itu. Dia tidak bodoh. Tidak mungkin berharap dia
tidak menyadari sesuatu yang ada di depan matanya.
“Sudah menemukan sesuatu?” Aku bertanya sesantai mungkin.
“Tidak terlalu.” akunya.
Aku terkekeh lega, “Apa teorimu?”
Tidak mungkin lebih buruk dari yang sebenarnya, tidak perduli apapun dugaannya.
Pipinya jadi merah terang, dan ia tidak mengatakan apa-apa. Aku bisa merasakan
kehangatan dari rona pipinya di udara.
Aku coba menggunakan nada membujuk. Itu selalu berhasil dengan manusia normal.
“Maukah kau memberitahuku?” Aku tersenyum menyemangati.
Dia menggeleng. “Terlalu memalukan.”
Ugh... Tidak tahu adalah yang paling buruk dari apapun. Kenapa tebakannya membuat
dia malu? Aku tidak tahan tidak tahu begini.
“Itu sangat memusingkan, kau tahu.”
Keluhanku sepertinya berefek sesuatu padanya. Matanya berkilat dan kata-katanya
mengalir lebih cepat dari biasanya.
“Tidak, aku tidak bisa membayangkan kenapa itu harus memusingkan—hanya karena
seseorang menolak menceritakan apa yang mereka pikirkan, meskipun mereka terus menerus
melontarkan komentar misterius untuk membuatmu terjaga semalaman dan memikirkan apa
sebenarnya maksudnya...nah, kenapa itu memusingkan?”
Aku mengerutkan dahi, kesal karena menyadari dia betul. Aku tidak adil.
Dia melanjutkan. “Terlebih lagi, katakan saja orang itu juga melakukan hal-hal aneh—
mulai dari menyelamatkan nyawamu dari keadaan mustahil pada suatu hari, sampai
memperlakukanmu seperti orang asing keesokan harinya, dan dia tak pernah menjelaskan
apa-apa, bahkan setelah berjanji akan melakukannya. Itu, juga, akan sangat tidak
memusingkan.”
120
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Itu ucapan dia yang paling panjang yang pernah kudengar. Dan itu menambah daftar
kepribadiannya yang kubuat.
“Kau ini pemarah, ya?”
“Aku tidak suka standar ganda.”
Tentu saja ia punya cukup alasan untuk marah.
Aku menatap Bella, bertanya-tanya bagaimana mungkin aku bisa melakukan sesuatu
yang benar buat dia, sampai kemudian teriakan pikiran Mike mengalihkan perhatianku.
Dia sangat marah hingga membuatku tertawa geli.
“Apa?” Tanyanya.
“Pacarmu sepertinya mengira aku bersikap tidak sopan padamu—dia sedang
mempertimbangkan untuk melerai pertengkaran kita atau tidak.” Aku sangat ingin
melihatnya melakukan itu. Aku tertawa lagi.
“Aku tidak tahu siapa yang kau maksud,” tukasnya dengan suara dingin. “Lagi pula,
aku yakin kau salah.”
Aku sangat menikmati mendengar dia menyangkal Mike.
“Tidak. Aku pernah bilang, kebanyakan orang mudah ditebak.”
“Kecuali aku, tentu saja.”
“Ya. Kecuali kau.” Apa dia harus menjadi pengecualian atas segalanya? Bukannya
lebih adil—mengingat segala yang mesti kuahadapi saat ini—jika paling tidak aku bisa
mendengar isi pikirannya? Apa permintaan itu terlalu banyak? “Aku bertanya-tanya, kenapa
bisa begitu?”
Aku menatap kedalam matanya, mencoba lagi...
Dia membuang muka. Dia membuka botol limunnya dan meminumnya. Pandangannya
ke meja.
“Apa kau tidak lapar?” Tanyaku.
“Tidak.” Dia melihat ke meja kosong diantara kami. “Kau?”
“Tidak, aku tidak lapar,” aku jelas tidak lapar.
Dia menatap ke meja. Bibirnya merengut. Aku menunggu.
“Boleh minta tolong?” Matanya menatapku lagi.
Apa yang ia inginkan dariku? Apa ia akan menuntut kebenaran yang tidak bisa
121
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
kuberikan—kebenaran yang kuharap tidak akan pernah dia ketahui?
“Tertantung apa yang kau inginkan?”
“Tidak susah kok,” Dia berjanji.
Aku menunggu, lagi-lagi penasaran.
“Kira-kira...” Dia menatap ke botol limun, mengitari mulut botolnya dengan jarinya,
“Maukah kau memberitahuku dulu sebelum lain kali memutuskan untuk mengabaikan aku,
demi kebaikanku sendiri? Jadi aku bisa siap-siap.”
Dia ingin diperingatkan dulu? Berarti, diabaikan olehku adalah sesuatu yang tidak
menyenangkan... Aku tersenyum.
“Kedengarannya adil.”
“Terima kasih,” jawabnya sambil mendongak menatapku. Wajahnya begitu lega hingga
aku ingin tertawa karena kelegaanku sendiri.
“Lalu apa aku juga boleh minta satu jawaban sebagai gantinya?” tanyaku penuh harap.
“Satu,” dia mengijinkan.
“Ceritakan padaku satu teori.”
Wajahnya merona lagi. “Jangan yang itu.”
“Kau tidak memberi syarat, kau sudah janji untuk menjawab satu.”
“Sedang kau sendiri melanggar janjimu.” Dia mendebat balik.
Dan itu tepat mengenaiku.
“Satu teori saja—aku tidak akan tertawa.”
“Pasti kau bakal tertawa.” Dia kelihatannya sangat yakin, meski aku tidak bisa
membayangkan sesuatu yang lucu tentang itu.
Sekali lagi aku mencoba membujuknya. Aku menatap lekat-lekat kedalam matanya—
sesuatu yang mudah dilakukan, dengan matanya yang begitu dalam—dan berbisik, “Please?”
Dia mengedip, dan wajahnya berubah kosong.
Well, itu bukan reaksi yang kuharapkan.
“Mmm, apa?” tanyanya, terlihat pusing.
Ada apa dengan dia? Tapi aku tidak akan menyerah.
“Ceritakan satu teori, sedikit saja.” Aku memohon dengan suara halus,
memperhatankan matanya dalam tatapanku.
122
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Terkejut dan puas, ternyata berhasil...
“Ehh, well, digigit laba-laba yang mengandung radioaktif?”
Cerita komik? Pantas saja dia pikir aku bakal tertawa.
“Itu tidak terlalu kreatif.” Aku mencibirnya, berusaha menyembunyikan kelegaanku.
“Ya maaf, cuma itu yang kupunya.”
Dia agak tersinggung. Dan itu membuatku lebih senang. Aku bisa menggodanya lagi.
“Mendekatipun tidak.”
“Tidak ada laba-laba?”
“Tidak ada.”
“Tidak ada radioaktif?”
“Tidak.”
“Sial,” keluhnya.
Aku cepat-cepat mengalihkan—sebelum dia bertanya tentang gigitan. “Kryptonite juga
tidak melemahkanku.” Kemudian aku tertawa, karena dia pikir aku adalah superhero.
“Kau seharusnya tidak boleh ketawa, ingat?”
Aku tersenyum dan menutup mulut.
“Nanti juga aku tahu.”
Dan ketika dia tahu, ia akan lari.
“Kuharap kau tidak mencobanya.”Nnada menggodaku sepenuhnya lenyap.
“Karena...?”
Aku behutang kejujuran padanya. Tetap saja, aku berusaha tersenyum, agar tidak tidak
kedengaran mengancam. “Bagaimana kalau aku bukan seorang superhero? Bagaimana kalau
aku orang jahatnya?”
Matanya melebar dan bibirnya sedikit membuka. “Oh,” ujarnya. Dan sedetik kemudian,
“Aku mengerti.”
Dia akhirnya mendengar peringatanku.
“Benarkah?” tanyaku, menyembunyikan penderitaanku.
“Kau berbahaya?” Napasnya memburu, dan jantungnya berdetak kian cepat.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Apa ini kesempatan terakhirku bersamanya? Apa
dia akan segera lari? Masih sempatkah untuk mengatakan bahwa aku mencintai dia sebelum
123
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
ia pergi? Atau itu akan lebih membikin dia takut?
“Tapi tidak jahat,” bisiknya sambil menggeleng. Tidak terpancar ketakutan dari
matanya yang jernih. “Tidak, aku tidak percaya kau jahat.”
Aku menarik napas. “Kau salah.”
Tentu saja aku jahat. Bukannya sekarang aku sedang bersorak gembira, karena dia salah
menilaiku? Jika aku orang baik, aku akan menjauh darinya.
Aku mengulurkan tangan ke meja, menjangkau tutup botol limunnya sebagai alasan.
Dia tidak bereaksi dengan gerakan tiba-tiba ini. Dia benar-benar tidak takut padaku. Belum.
Aku memutar tutup botolnya seperti gasing, memperhatikan itu, bukannya dia.
Pikiranku buntu.
Lari, Bella, lari. Aku tidak sanggup mengucapkannya keras-keras.
Namun tiba-tiba dia terloncat. “Kita bakal terlambat,” ujarnya saat aku mulai khawatir
—entah bagaimana—ia bisa mendengar peringatan di kepalaku.
“Aku tidak ikut pelajaran hari ini.”
“Kenapa?”
Karena aku tidak mau membunuhmu. “Sekali-kali membolos itu menyehatkan.”
Lebih tepatnya, jauh lebih baik bagi manusia jika seorang vampir membolos di hari
ketika darah manusia tumpah. Hari ini Mr. Banner akan menguji golongan darah. Tadi pagi
Alice sudah membolos duluan.
“Well, aku akan masuk,”
Itu tidak mengejutkan. Dia orang yang bertanggung jawab—selalu melakukan sesuatu
yang benar.
Aku, kebalikannya.
“Kalau begitu sampai ketemu lagi.” jawabku sesantai mungkin sambil melihat ke
bawah, ke tutup botol yang kuputar. Dan, ngomong-ngomong, aku memujamu...dalam cara
yang menakutkan dan membahayakan.
Dia ragu-ragu, dan aku sempat berharap ia akan memilih untuk tetap tinggal
bersamaku. Tapi bel berbunyi dan ia cepat-cepat pergi.
Kutunggu dia sampai keluar, kemudian kusimpan tutup botol tadi ke saku—sebuah
kenang-kenangan dari pembicaraan yang sangat menyenangkan ini—dan berjalan menembus
124
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
hujan ke mobil.
Aku menyalakan CD musik kesukaanku, Debussy—CD yang sama dengan yang
kudengarkan di hari pertama itu. Tapi aku tidak mendengarkannya terlalu lama. Alunan nada
yang lain mengalir di kepalaku, penggalan lagu yang menyenangkan dan menggugahku. Jadi,
kumatikan CDnya dan ganti mendengarkan musik di kepalaku, memainkan penggalannya
sampai berhasil mengembangkannya jadi satu harmonisasi lengkap. Secara naluri, jari-jariku
menari di udara memainkan tuts-tuts piano kasat mata.
Komposisi lagunya hampir lengkap ketika aku menangkap gelombang kerisauan-batin
yang mendalam.
Aku mencari sumber suaranya.
Apa dia akan pingsan? Apa yang mesti kulakukan? Mike membatin panik.
Beberapa ratus meter dari tempatku, Mike Newton meletakan tubuh lunglai Bella ke
trotoar. Dia merosot tak berdaya ke semen dingin. Matanya tertutup, kulitnya sepucat mayat.
Aku hampir menendang pintu mobilku.
“Bella?!” Teriakku.
Tidak ada perubahan di wajah pucatnya saat aku meneriakan namanya.
Sekujur tubuhku mendingin melebihi es.
Dengan marah aku menyelidiki pikiran Mike, yang terkejut sekaligus jengkel
melihatku. Dan dia hanya memikirkan kemarahannya hingga aku tidak tahu apa yang terjadi
pada Bella. Jika dia sampai menyakiti Bella, aku akan membinasakannya.
“Apa yang terjadi—apa dia sakit?” Aku menuntut jawaban sambil berusaha fokus pada
pikiran si bocah. Rasanya menjengkelkan harus berjalan dengan langkah manusia. Harusnya
tadi aku datang diam-diam.
Kemudian, aku mendengar detak jantung dan napasnya yang datar. Saat aku mendekat,
dia memejamkan matanya lebih rapat. Itu meringankan kepanikanku.
Aku melihat sekelebatan ingatan di pikiran Mike, sekelumit gambaran dari kelas
Biologi. Kepala Bella terkulai di meja kami berdua, kulit gadingnya berubah hijau. Setetes
cairan kental merah di kertas putih...
Tes golongan darah.
Aku langsung berhenti di tempat, menahan napasku. Aromanya aku sudah biasa, tapi
125
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
darah segar adalah sama sekali lain.
“Kurasa dia pingsan,” ujar Mike dengan cemas sekaligus marah. “Aku tidak tahu apa
yang terjadi, dia bahkan tidak menusuk jarinya.”
Kelegaan langsung melandaku, aku bernapas lagi, merasakan udara disekelilingku. Ah,
aku bisa mencium setitik darah dari bekas tusukan Mike Newton. Di waktu lalu, mungkin itu
akan mengundang seleraku.
Aku berlutut disamping Bella sementara Mike menunggu di dekatku, marah karena
campur tanganku.
“Bella. Kau bisa mendengarku?”
“Tidak,” erangnya. “Pergi sana.”
Kelegaan itu begitu luarbiasa hingga aku tertawa. Dia baik-baik saja.
“Aku mau membawanya ke UKS,” sergah Mike. “Tapi dia tak bisa berjalan lebih jauh
lagi.”
“Aku yang akan mengantarnya. Kau bisa kembali ke kelas,” kataku mengusirnya.
Mike menggertakan gigi. “Tidak. Aku yang seharusnya melakukannya.”
Aku malas berdebat dengan bocah satu ini.
Berdebar-debar dan takut, setengah bersyukur dan cemas, mengingat bahayanya jika
menyentuh dia, dengan lembut aku mengangkat Bella dan membopongnya di lenganku. Aku
menyentuh hanya bajunya, menjaga jarak tubuhnya sejauh mungkin. Aku melangkah cepatcepat
untuk menyelamatkan dia—menjauh dariku, dengan kata lain.
Matanya terbuka, bingung.
“Turunkan aku,” tuntutnya dengan suara lemah—malu, ditebak dari ekspresinya. Dia
tidak suka menunjukan kelemahannya.
Aku hampir tidak mendengar protes Mike di belakangku.
“Kau tampak kacau,” kataku sambil menyeringai karena tidak ada yang salah padanya
selain kepala pusing dan perut yang lemah.
“Turunkan aku,” ujarnya. Bibirnya putih.
“Jadi kau pingsan karena melihat darah?” Bisakah lebih ironis lagi?
Dia menutup mata dan mengatupkan bibirnya.
“Dan bahkan bukan darahmu sendiri,” aku menambahkan. Seringaiku makin lebar.
126
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Kami sampai di depan TU. Pintunya sedikit terbuka. Aku membukanya dengan kaki
agar bisa lewat.
Ms. Cope terloncat kaget. “Oh, ya ampun,” dia terengah saat memeriksa gadis kelabu
di tanganku ini.
“Dia pingsan di kelas biologi,” aku menerangkan, sebelum imajinasinya terlalu jauh.
Ms. Cope buru-buru membuka pintu ke ruang UKS. Mata Bella terbuka lagi,
mengawasinya. Aku mendengar pikiran takjub Mrs. Hammond, juru rawat keibuan yang ada
di UKS, saat aku masuk dan membaringkan Bella ke sebuah tempat tidur yang sudah lusuh.
Begitu Bella tidak lagi di tanganku, aku langsung menjauh ke tembok. Tubuhku terlalu
bersemangat, terlalu berhasrat. Otot-ototku tegang. Dan liurku mengalir deras. Dia sangat
hangat dan harum.
“Di hanya sedikit lemah,” aku meyakinkan Mrs. Hammond. “Mereka sedang mengetes
golongan darah di kelas Biologi.”
Dia mengangguk mengerti sekarang. “Selalu saja ada yang pingsan.”
Aku menahan tawa. Pastilah Bella yang satu itu.
“Berbaringlah sebentar, sayang.” Mrs. Hammond berkata menenangkan. “Nanti juga
sembuh.”
“Aku tahu,” jawab Bella.
“Apa ini sering terjadi?” sang perawat bertanya.
“Kadang-kadang,” Bella mengakui.
Aku berusaha menyamarkan tawaku dengan batuk.
Itu mengalihkan perhatian Mrs. Hammond padaku. “Kau boleh kembali ke kelas
sekarang.”
Aku menatap langsung ke matanya dan berbohong dengan keyakinan sempurna. “Aku
disuruh menemaninya.”
Hmmm... Apa iya... Ah sudahlah. Mrs. Hammond mengangguk.
Itu berhasil dengan baik padanya. Kenapa kalau dengan Bella jadi sulit?
“Aku akan mengambilkan kompres untukmu, sayang.” Mrs. Hammond merasa tidak
nyaman setelah menatap mataku—sebagaimana manusia seharusnya—dan pergi keluar
ruangan.
127
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Kau betul.” Bella mengerang, menutup matanya.
Yang dia maksud apa? Dan pikiranku langsung mengarah ke kesimpulan yang terburuk:
dia menerima peringatanku.
“Biasanya begitu.” Aku berusaha kedengaran bangga; sepertinya tidak terlalu
meyakinkan. “Tapi kali ini tentang apa?”
“Membolos itu sehat,” desahnya.
Ah, lega lagi.
Kemudian dia terdiam, hanya bernapas pelan-pelan. Bibirnya mulai berubah merah
muda. Komposisi bibirnya terlihat tidak imbang, bibir bawahnya sedikit lebih penuh
dibanding bibir atasnya. Dan memandangi bibirnya membuatku merasa aneh. Membuatku
ingin mendekat, yang mana bukan ide yang bagus.
“Tadi kau sempat membuatku takut.” Aku coba memulai pembicaraan agar bisa
mendengar suaranya lagi. “Kukira Newton sedang menyeret mayatmu untuk dikubur di
hutan.”
“Ha ha,” ucapnya tidak terhibur.
“Jujur saja—aku pernah melihat mayat dengan kondisi lebih baik.” Itu betul. “Hampir
saja aku membalas pembunuhmu.” Dan aku memang hampir begitu.
“Kasihan Mike,” desahnya. “Berani taruhan dia pasti marah.”
Aku langsung berang mendengarnya, namun cepat-cepat kutahan. Kepeduliannya pasti
lebih karena kasihan. Dia baik hati. Cuma itu.
“Dia sangat membenciku.” Aku senang jika Mike memang begitu.
“Kau tidak mungkin tahu pasti.”
“Aku lihat wajahnya, makanya aku tahu.” Itu mungkin ada benarnya, dengan membaca
wajahnya cukup untuk menarik kesimpulan seperti itu. Segala latihan selama ini dengan
Bella menajamkan kemampuanku membaca ekspresi manusia.
“Bagaimana kau bisa menemukanku? Kukira kau membolos.” Wajahnya terlihat lebih
baik—warna kehijauan telah lenyap dari balik kulitnya yang bening.
“Aku sedang di dalam mobil, mendengarkan CD.”
Ekspresinya sedikit berubah, seakan entah bagaimana jawaban biasaku membuatnya
terkejut.
128
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Dia menutup matanya lagi ketika Mrs. Hammond kembali dengan membawa
kompresan es.
“Pakai ini, sayang,” perawat itu menaruh kompresnya di kening Bella. “Kau kelihatan
jauh lebih baik.”
“Kurasa aku baik-baik saja,” jawab Bella. Ia bangkit duduk sembari menyingkirkan
kompresannya. Bukan kejutan. Dia tidak suka dapat perhatian.
Tangan keriput Mrs. Hammond menahan Bella agar kembali berbaring, tapi kemudian
Ms. Cope membuka pintu dan masuk. Bersama kedatangannya tercium juga bau darah segar,
cuma bau ringan.
Di belakang Ms. Cope, Mike Newton masih marah sekali, berharap bocah yang baru
saja ia tuntun adalah gadis yang ada disini bersamaku.
“Kita kedatangan satu lagi,” ujar Ms. Cope.
Bella buru-buru melompat turun dari tempat tidur, ingin cepat-cepat menyingkir.
“Ini,” katanya cepat, mengembalikan kompresnya ke Mrs. Hammond. “Aku tidak
memerlukannya.”
Mike menggerutu saat dia setengah menyeret Lee Stevens melewati pintu. Darah masih
menetes dari tangan Lee yang sedang memegangi wajahnya, menetes turun ke lengannya.
“Oh, tidak.” Ini tandaku untuk pergi—dan kelihatannya buat Bella juga. “Ayo keluar
dari sini, Bella.”
Dia menatapku dengan pandangan bingung.
“Percayalah—ayo.”
Dia memutar dan menangkap pintunya sebelum tertutup, buru-buru keluar dari UKS.
Aku mengikuti tepat di belakangnya. Kibasan rambutnya sempat membelai tanganku...
Dia menoleh melihatku, masih dengan mata lebarnya.
“Kau benar-benar menuruti perkataanku.” Ini yang pertama.
Hidung mungilnya mengerut. “Aku mencium bau darah.”
Aku menatapnya heran. “Manusia tidak bisa mencium darah.”
“Well, aku bisa—itulah yang membuatku mual. Baunya seperti karat...dan garam.”
Wajahku membeku, melongo.
Apa dia betul-betul manusia? Dia terlihat seperti manusia. Dia terasa lembut bagi
129
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
manusia. Baunya seperti manusia—well, jauh lebih baik sebetulnya. Tingkahnya seperti
manusia...kira-kira begitu. Tapi dia tidak berpikir layaknya manusia, atau bereaksi seperti itu.
Memang, apa lagi pilihannya selain manusia?
“Kenapa?” tanyanya penasaran.
“Bukan apa-apa.”
Kemudian Mike Newton datang menyela, masuk dengan pikiran marah besar.
“Kau kelihatan lebih baik,” ujarnya kasar pada Bella.
Tanganku mengejang, ingin memberinya pelajaran. Aku harus hati-hati, atau aku akan
betul-betul membunuh bocah menjengkelkan ini.
“Jauhkan tanganmu,” katanya. Sesaat kupikir dia sedang bicara padaku.
“Sudah tidak berdarah lagi,” jawab Mike sambil menahan marah. “Apa kau akan
kembali ke kelas?”
“Apa kau bercanda? Aku hanya akan kembali kesini lagi.”
Itu bagus sekali. Kupikir aku akan kehilangan satu jam penuh bersamanya, tapi justru
dapat tambahan waktu. Aku jadi merasa tamak, orang kikir yang mendambakan setiap
tambahan waktu.
“Kurasa betul...” gumam mike. “Jadi kau akan pergi pekan ini? Ke pantai?”
Ah, mereka punya rencana. Aku membeku ditempat karena marah. Tenang, itu cuma
tamasya bersama. Aku sudah melihat rencana ini di pikiran murid-murid lainnya. Bukan
cuma mereka berdua. Tapi aku masih juga geram. Aku menyandar ke komputer, tidak
bergerak, berusaha mengendalikan diriku.
“Tentu saja, aku kan sudah bilang akan ikut,” jawabnya pada Mike.
Jadi dia berkata ya padanya juga.
Cemburu langsung membakarku, lebih menyakitkan daripada haus.
Bukan, itu cuma tamasya bersama, aku berusaha meyakinkan diriku. Dia hanya
menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Tidak lebih.
“Kita akan kumpul di toko ayahku jam sepuluh.” Dan si Cullen TIDAK diundang.
“Aku akan datang.”
“Kalau begitu sampai ketemu lagi di gimnasium.”
“Sampai nanti,” balasnya.
130
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Mike berjalan ogah-ogahan kembali ke kelas. Pikirannya penuh kemarahan. Apa yang
Bella lihat dari orang aneh itu? Tentu saja dia memang kaya. Menurut perempuanperempuan
dia itu keren, tapi menurutku tidak. Terlalu...terlalu sempurna. Berani taruhan
ayahnya pasti melakukan eksperimen operasi plastik pada mereka semua. Itulah kenapa
semuanya putih sekali dan cantik. Itu tidak wajar. Dan tatapannya agak...menakutkan.
Kadang, saat dia menatapku, berani sumpah ia seperti ingin membunuhku... dasar orang
aneh...
Mike tidak sepenuhnya keliru.
“Gimnasium,” Bella mengulang pelan. Mengerang.
Aku menatapnya, dan ia terlihat sedih akan suatu lagi. Aku tidak yakin apa
penyebabnya, tapi jelas dia tidak ingin pergi ke kelas berikutnya bersama Mike. Dan aku
sangat setuju pada hal itu.
Aku mendekat ke sisinya, lalu menunduk ke wajahnya, merasakan hangat kulitnya
menjalar ke bibirku. Aku tidak berani untuk bernapas.
“Aku bisa mengaturnya,” bisikku pada dia. “Duduklah dan perlihatkan wajah
pucatmu.”
Dia melakukan apa yang kuminta, duduk di salah satu kursi lipat dan menyandarkan
badannya ke tembok, sementara, di belakangku, Ms. Cope keluar dari dalam UKS menuju
mejanya. Dengan mata yang tertutup, Bella kelihatan seperti pingsan lagi. Rona wajahnya
belum kembali seperti semula.
Aku menoleh ke Ms. Cope. Semoga Bella memperhatikan, pikirku sinis. Seperti inilah
manusia semestinya bereaksi.
“Ms. Cope?” kataku dengan menggunakan suara membujuk lagi.
Bulu matanya mengedip-ngedip tak sadar, dan jantungnya berdetak cepat. Terlalu
muda, kendalikan dirimu! “Ya?”
Ini menarik. Ketika detak jantung Shelly Cope bertambah cepat, itu karena dia
mendapati diriku menarik secara fisik, bukan karena takut. Aku sudah terbiasa menghadapi
reaksi seperti itu dari para manusia-perempuan...tapi aku tidak pernah mempertimbangkan
penjelasan itu ketika detak jantung Bella memburu.
Aku cukup suka itu. Terlalu suka, sebetulnya. Aku tersenyum, dan napas Ms. Cope
131
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
makin memburu.
“Setelah ini Bella ada pelajaran olahraga, dan sepertinya kondisinya belum pulih benar.
Sebetulnya saya berpikir untuk mengantarnya pulang sekarang. Apa saya bisa minta tolong
dimintakan ijin buatnya?” Aku menatap kedalam matanya yang dangkal, menikmati
bagaimana hal ini mengalutkan pikirannya. Jangan-jangan, mungkinkah Bella...?
Mrs. Cope harus menelan ludah dulu sebelum menjawab. “Apa kau butuh ijin juga,
Edward?”
“Tidak, Mrs. Goff tidak akan keberatan.”
Aku tidak terlalu memperhatikannya sekarang. Aku sedang mempertimbangkan
kemungkinan terbaru ini.
Hmmm...Aku ingin percaya bahwa Bella mendapatiku menarik seperti menurut
manusia lainnya, tapi kapan Bella pernah berpikiran sama seperti manusia lainnya? Aku tidak
boleh terlalu berharap.
“Oke, kalau begitu semuanya beres. Kau merasa lebih baik, Bella?”
Bella mengangguk lemah—sedikit dilebih-lebihkan.
“Apa kau bisa berjalan, atau perlu kugendong lagi?” tanyaku geli melihat aktingnya.
Dia pasti lebih memilih jalan—dia tidak mau terlihat lemah.
“Aku jalan saja,” jawabnya.
Betul lagi. Aku mulai lebih baik dalam hal ini.
Dia bangkit berdiri, ragu-ragu sebentar seperti sedang mengecek keseimbangannya.
Aku menahan pintu untuknya, dan kami berjalan menembus hujan.
Aku memperhatikan bagaimana dia menengadahkan wajahnya menghadap rintik-rintik
hujan dengan mata tertutup, sebaris senyum di bibirnya. Apa yang sedang ia pikirkan?
Tindakannya terlihat ganjil, dan aku langsung menyadari penyebabnya. Perempuan normal
tidak akan menentang hujan seperti itu; mereka biasanya memakai makeup, bahkan disini di
kota hujan seperti Forks.
Bella tidak pernah memakai makeup, dan memang sebaiknya tidak. Industri kosmetik
memperoleh jutaan dolar tiap tahunnya dari para wanita yang berusaha mendapatkan kulit
seperti dia.
“Terima kasih.” Dia tersenyum padaku. “Lumayan juga bisa bolos kelas olahraga.”
132
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Aku memandang ke seberang kampus, bertanya-tanya bagaimana caranya
memperpanjang waktu bersamanya. “Dengan senang hati,” jawabku.
“Jadi apa kau ikut? Maksudku, sabtu ini?” Dia terdengar berharap.
Ah, harapannya menyenangkan. Dia ingin aku yang bersamanya, bukan Mike Newton.
Dan aku ingin berkata ya. Tapi ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Salah satunya,
matahari akan bersinar cerah sabtu ini...
“Sebenarnya kalian akan pergi kemana?” Aku berusaha terdengar acuh, seakan tidak
terlalu berarti. Mike sempat menyebut pantai. Tidak mungkin menghindari sinar matahari
disana.
“La Push, ke First Beach.”
Sial. Well, kalau begitu mustahil.
Bagaimanapun, Emmet bakal marah jika aku membatalkan rencana kami.
Aku meliriknya, tersenyum kecut. “Aku rasa aku tidak diundang.”
Dia mendesah, lebih dulu menyerah. “Aku baru saja mengundangmu.”
“Sudahlah, sebaiknya kita jangan terlalu mendesak Mike lagi minggu ini. Kita tidak
ingin membuat dia marah, kan?” Aku sebetulnya memikirkan diriku sendiri yang lepas
kendali pada Mike yang malang, dan sangat menikmati bayangannya.
“Mike-schmike,” katanya lagi-lagi dengan nada penolakan. Aku tersenyum lebar.
Kemudian dia berjalan menjauh.
Tanpa memikirkan tindakanku, aku menangkap belakang mantelnya. Dia tersentak
berhenti.
“Memangnya kau mau pergi kemana?” Aku hampir marah karena dia meninggalkanku.
Aku masih belum puas bersama dengannya. Dia tidak bisa pergi, jangan dulu.
“Pulang,” jawabnya bingung, tidak mengerti kenapa itu membuatku kesal.
“Apa tadi kau tidak dengar aku berjanji mengantarmu pulang dengan selamat? Pikirmu
aku akan membiarkanmu mengemudi dengan kondisi seperti ini?” Aku tahu dia tidak akan
suka itu—pandanganku yang menilai dia lemah. Tapi aku juga butuh latihan untuk perjalanan
ke Seattle. Untuk melihat, apa aku sanggup menahan diri saat berdua saja dengannya di
ruang tertutup. Perjalanan yang ini cukup singkat untuk latihan.
“Kondisi seperti apa?” protesnya. “Lalu trukku bagaimana?”
133
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Akan kuminta Alice mengantarnya sepulang sekolah nanti.” Dengan hati-hati aku
menariknya mundur ke mobilku. Aku mesti hati-hati karena berjalan maju saja sudah cukup
sulit buatnya.
“Lepaskan!” Protesnya sambil memutar badan dan hampir tersandung. Aku
mengulurkan satu tangan, tapi dia sudah berhasil menyeimbangkan diri sebelum
pertolonganku dibutuhkan. Tidak seharusnya aku mencari-cari alasan untuk menyentuhnya.
Itu membuatku teringat pada reaksi Ms. Cope, tapi aku menundanya untuk kupikirkan
nanti. Ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan menyangkut soal itu.
Kulepaskan dia sesampainya di samping mobil, dan ia tersandung pintunya. Aku
harusnya lebih hati-hati lagi melihat keseimbangannya yang seperti itu...
“Kau kasar sekali!”
“Pintunya tidak dikunci.”
Aku masuk ke sisi pengemudi dan menyalakan mesinnya. Dia tetap ngotot berdiri
diluar meski hujan mulai deras dan aku tahu dia tidak suka dingin dan basah. Rambut
tebalnya nya mulai basah kuyup, lebih gelap hingga nyaris hitam.
“Aku sangat mampu menyetir sendiri ke rumah!”
Tentu saja dia bisa—hanya saja aku yang tidak sanggup membiarkannya pergi.
Aku menurunkan jendela dan mencondongkan badan kearahnya. “Masuklah, Bella.”
Matanya menyipit, dan tebakanku dia sedang menimbang-nimbang apa akan lari saja
atau tidak.
“Aku tinggal menyeretmu lagi,” kataku sungguh-sungguh, menikmati ekspresi tersiksa
di wajahnya saat ia menyadari aku serius.
Sesaat dia berdiri kaku, tapi kemudian membuka pintu dan masuk. Air menetes-netes
dari rambutnya, sepatu bootsnya mendecit basah.
“Ini benar-benar tidak perlu,” ucapnya dingin. Sepertinya ada nada malu dibalik
kejengkelannya.
Aku menyalakan penghangat agar dia merasa lebih nyaman, dan menyetel musik
dengan suara pelan sebagai background. Aku mengemudikan mobilku keluar parkiran,
sambil memperhatikan dia dari ujung mataku. Bibir bawahnya sedikit maju dengan ekspresi
keras kepala. Aku memperhatikannya baik-baik, mempelajari bagaimana dampaknya pada
134
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
perasaanku... mengingat kembali reaksi Ms. Cope...
Tahu-tahu dia melihat ke arah tapeku dan tersenyum, matanya melebar. “Clair de
Lune?” Tanyanya.
Pecinta musik klasik? “Kau tahu Debussy?”
“Tidak terlalu,” jawabnya. “Ibuku sering menyetel musik klasik—aku cuma tahu yang
kusuka.”
“Ini juga salah satu kesukaanku.” Aku memperhatikan hujan di luar,
mempertimbangkan hal itu. Ternyata aku punya kesamaan dengan gadis ini. Sebelumnya aku
berpikir bahwa kami berdua bertolak belakang dalam segala hal.
Dia terlihat lebih santai, memperhatikan hujan diluar sepertiku. Aku menggunakan
kesempatan ini untuk bereksperimen dengan bernapas.
Aku menarik napas hati-hati lewat hidung.
Pekat.
Kucengkram roda kemudi lebih kencang. Hujan membuat aromanya lebih harum. Aku
tidak pernah berpikir bisa seperti itu. Sial, tiba-tiba jadi membayangkan bagaimana rasanya.
Aku berusaha menelan rasa terbakar di tenggorokanku, memikirkan hal lain.
“Ibumu seperti apa?” Aku bertanya untuk mengalihkan perhatian.
Bella tersenyum. “Dia sangat mirip denganku, tapi lebih cantik.”
Aku ragu itu.
“Terlalu banyak Charlie dalam diriku,” dia melanjutkan. “Ibuku punya sifat lebih
terbuka, dan lebih berani.”
Aku juga ragu itu.
“Dia tidak terlalu bertanggung jawab dan agak eksentrik, dan dia juru masak yang
sangat payah. Dia teman baikku.” Suaranya berubah sayu; keningnya mengerut.
Lagi, dia terdengar lebih seperti orangtua ketimbang anak.
Aku berhenti di depan rumahnya, terlambat untuk khawatir darimana mana aku bisa
tahu rumahnya. Tidak, ini tidak akan terlalu mencurigakan di kota kecil seperti ini, apalagi
dengan ayahnya yang kepala polisi...
“Berapa umurmu, Bella?” Dia pasti lebih tua dari penampilannya. Mungkin dia
terlambat masuk sekolah, atau pernah tinggal kelas...kalau itu sepertinya tidak.
135
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Tujuh belas.”
“Kau tidak kelihatan seperti berumur tujuh belas.”
Dia tertawa.
“Kenapa?”
“Ibuku selalu bilang aku terlahir dengan umur 35 tahun dan makin mendekati paruh
baya tiap tahunnya.” Dia tertawa lagi, dan mendesah. “Well, harus ada yang menjadi orang
dewasanya.”
Itu menjelaskan beberapa hal. Aku bisa melihatnya sekarang...bagaimana seorang ibu
yang tidak terlalu bertanggung jawab menjelaskan kedewasaannya Bella. Dia harus dewasa
lebih cepat, untuk menjadi pengawas. Itulah kenapa dia tidak suka diurus—dia merasa itu
tugasnya.
“Kau sendiri tidak kelihatan seperti murid SMA,” katanya, membuyarkan lamunanku.
Aku menyeringai. Dari segala yang kutangkap tentang dia, dia menangkap lebih
banyak tentang diriku. Aku buru-buru mengganti topik.
“Jadi kenapa ibumu menikah dengan Phil?”
Dia ragu sejenak sebelum menjawab. “Ibuku...dia sangat muda untuk umurnya. Kurasa
Phil membuatnya merasa lebih muda lagi. Dalam beberapa hal, ibuku tergila-gila padanya.”
Dia menggeleng dengan tatapan senyum.
“Apa kau setuju?”
“Apa itu penting? Aku ingin dia bahagia...dan Phill lah yang ia mau.”
Ketidak egoisan tanggapannya mungkin akan mengejutkan aku, kecuali bahwa hal itu
sangat cocok dengan kepribadiannya yang telah kupelajari.
“Kau baik sekali...aku jadi berpikir...”
“Apa?”
“Apa dia juga akan bersikap sama denganmu? Tidak perduli siapapun pilihanmu?”
Itu pertanyaan konyol, dan aku tidak bisa membuat suaraku tetap santai saat
menanyakannya. Sungguh bodoh mempertimbangkan ada orang tua yang akan merestui
anaknya denganku. Lebih bodoh lagi berpikir bahwa Bella mau memilihku.
“Aku...aku rasa begitu,” jawabnya terbata-bata, mungkin karena tatapanku. Takut...
Atau tertarik?
136
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Tapi dia lah yang jadi orangtua. Jadi agak beda,” lanjutnya.
Aku tersenyum kecut. “Berarti dilarang jika orangnya terlalu menyeramkan.”
Dia menyeringai padaku. “Apa maksudmu menyeramkan? Banyak tindikan di wajah
dan tatoo di sekujur badan?”
“Kurasa itu salah satu definisinya.” Definisi yang jauh dari mengerikan kalau buatku.
“Lantas apa definnisimu?”
Dia selalu menanyakan pertanyaan yang keliru. Atau lebih bisa dibilang pertanyaan
yang tepat. Sesuatu yang tidak ingin kujawab, dalam kondisi apapun.
“Menurutmu apa aku bisa menyeramkan?” tanyaku padanya sambil berusaha
tersenyum.
Dia mempertimbangkan dulu sebelum menjawabnya dengan nada serius.
“Hmmm...kupikir kau bisa, kalau mau.”
Aku juga serius. “Apa sekarang kau takut padaku?”
Dia langsung menjawab, kali ini tanpa dipikir. “Tidak.”
Aku jadi lebih mudah tersenyum. Aku tidak berpikir dia sepenuhnya jujur, tapi dia juga
tidak sepenuhnya bohong. Paling tidak dia tidak terlalu takut hingga ingin pergi. Aku
bertanya-tanya bagaimana perasaannya jika kuberitahu bahwa dia sedang bicara dengan
seorang vampir. Aku buru-buru membuang bayangan itu.
“Jadi, apakah sekarang kau mau cerita tentang keluargamu? Pasti jauh lebih menarik
daripada ceritaku.”
Lebih menakutkan, paling tidak.
“Apa yang ingin kau ketahui?” Aku bertanya waspada.
“Keluarga Cullen mengadopsimu?”
“Ya.”
Dia bimbang sebentar, kemudian bicara dengan suara pelan. “Apa yang terjadi dengan
orangtuamu?”
Ini tidak terlalu sulit; bahkan aku tidak perlu berbohong. “Mereka sudah lama
meninggal.”
“Oh, maaf,” gumamnya, jelas khawatir telah melukaiku.
Dia mengkhawatirkan aku.
137
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Aku tidak terlalu ingat mereka,” aku meyakinkannya. “Sejak lama Carlisle dan Esme
sudah jadi orangtuaku.”
“Dan kau menyayangi mereka?”
Aku tersenyum. “Ya. Aku tidak bisa membayangkan dua orang yang lebih baik.”
“Kau sangat beruntung.”
“Aku tahu.” Dalam kondisi itu, soal orangtuaku, keberuntunganku tidak bisa diingkari.
“Dan saudara-saudaramu?”
Jika aku membiarkannya bertanya lebih jauh, aku terpaksa berbohong. Aku melirik ke
jam, kecewa karena karena waktuku dengan dia hampir habis.
“Saudara-saudaraku, Jasper dan Rosalie, akan kesal jika harus berdiri di tengah hujan
menungguku.”
“Oh, iya, sori, sepertinya kau harus pergi.”
Dia tidak bergerak. Dia tidak ingin cepat-cepat berakhir juga. Aku sangat, sangat suka
itu.
“Dan kau mungkin juga ingin trukmu kembali sebelum ayahmu pulang, jadi kau tidak
perlu cerita tentang insiden di kelas biologi tadi.” Aku menyeringai teringat bagaimana dia
merasa malu tadi dalam gendonganku.
“Aku yakin dia sudah dengar. Tidak ada rahasia di Forks.” Dia menyebut nama kota
Forks dengan nada sebal yang kentara.
Aku tertawa mendengar ungkapannya. Tidak ada rahasia, tentu saja. “Selamat
bersenang-senang di pantai.” Aku melihat ke hujan yang turun deras, tahu cuaca seperti ini
tidak akan berlangsung lama, dan beraharap—lebih dari biasanya—bahwa cuaca akan seperti
ini terus. “Cuaca nya bagus untuk berjemur.” Paling tidak akan begitu pada hari sabtu. Dia
akan menikmati itu.
“Apa aku akan bertemu dengamu besok?”
Perasaan khawatir di nadanya membuatku senang.
“Tidak. Emmet dan aku memulai akhir pekan lebih awal.” Sekarang aku marah pada
diriku sendiri karena telah membuat rencana itu. Aku bisa membatalkannya...tapi dengan
kondisi seperti ini, tidak ada lagi istilah terlalu banyak berburu. Dan keluargaku sudah cukup
khawatir dengan tingkahku tanpa perlu kutunjukan betapa obsesifnya aku sekarang.
138
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya, kedengarannya tidak terlalu senang dengan
rencanaku.
Itu juga bagus.
“Kami mau hiking ke Goat Rocks Wilderness, sebelah selatan Rainier.” Emmet sangat
bernafsu dengan musim beruang.
“Oh. Kalau begitu selamat besenang-senang.” Dia mengatakannya setengah hati.
Ketidak semangatannya lagi-lagi membuatku senang.
Saat memandangnya, aku merasa menderita pada pikiran akan berpisah dengannya
walau hanya untuk sebentar. Dia terlalu lembut dan rapuh. Rasanya terlalu ceroboh untuk
melepasnya dari pengawasanku. Apapun bisa terjadi padanya. Dan tetap saja, hal yang
paling buruk yang mungkin terjadi, adalah hal yang diakibatkan jika bersama denganku.
“Maukah kau melakukan sesuatu untukku akhir pekan ini?” Tanyaku serius.
Dia mengangguk, matanya melebar dan bertanya-tanya pada kesungguhanku.
Buat tetap santai.
“Jangan tersinggung, tapi kau sepertinya tipe orang yang menarik bahaya seperti
magnet. Jadi...cobalah untuk tidak jatuh ke laut atau terlindas apapun, oke?”
Aku tersenyum sebentar, berharap dia tidak melihat kesedihan di mataku. Kuharap
keadaan dia jauh lebih baik saat jauh dariku, tidak perduli apa yang akan terjadi padanya
disana.
Lari, Bella, lari. Aku terlalu mencintaimu, demi kebaikanmu dan aku.
Dia tersinggung dengan ucapanku. “Akan kuusahakan,” ucapnya ketus sambil
mendelik marah kemudian meloncat keluar kebawah guyuran hujan dan membanting
pintunya keras-keras.
Mirip kucing marah yang berpikir dirinya adalah seekor macan.
Aku membuka telapak tanganku, melirik kunci yang ada di genggamanku, yang baru
saja kuambil dari kantong jaketnya, kemudian sambil tersenyum melihat dia berjalan
menjauh.

midnight sun indonesia 5

5. Undangan
Sekolah. Bukan lagi penyiksaan, sekarang murni neraka. Penyiksaan dan api...ya, aku
memperoleh keduanya.
Sekarang aku melakukan segalanya dengan benar. Semuanya sempurna. Tidak ada yang
bisa mengeluh aku melalaikan tanggung jawabku.
Untuk menyenangkan Esme dan melindungi lainnya, aku tetap tinggal di Forks. Aku
kembali pada keseharianku. Aku berburu tidak lebih sering dari yang lain. Setiap hari masuk
sekolah dan pura-pura menjadi manusia. Setiap hari mendengarkan jika muncul gosip baru
tentang keluarga Cullen—tidak pernah ada yang baru. Gadis itu tidak pernah membicarakan
kecurigaannya. Dia hanya mengulang-ulang cerita yang sama—aku berdiri disampingnya
dan kemudian menarik dia—sampai para penanyanya bosan dan berhenti bertanya-tanya.
Tidak ada bahaya. Tindakan gegabahku tidak menyakiti siapapun.
Kecuali aku sendiri.
Aku bertekad untuk mengubah masa depan. Bukan tugas mudah, tapi pilihan lainnya
tidak bisa kuterima.
Menurut Alice aku tidak akan sanggup menjauh dari gadis itu. Akan kubuktikan dia
salah.
Kupikir hari pertama akan menjadi yang paling sulit. Pada penghujung hari aku
menyadari itu salah.
Miris rasanya akan melukai perasaan gadis itu. Aku menghibur diri dengan memikirkan
rasa sakit dia tidak lebih dari sekedar cubitan—cuma penolakan kecil—dibanding rasa
sakitku. Bella adalah manusia. Ia tahu aku sesuatu yang lain Sesuatu yang salah. Sesuatu
yang mengerikan. Ia akan merasa lega daripada terluka kalau aku mengabaikan dia dan
menganggapnya tidak ada.
“Halo, Edward,” dia menyapaku pada hari pertama pelajaran biologi. Suaranya ramah,
berbeda seratus delapan puluh derajat dari terakhir kali kami bicara.
Mengapa? Apa arti dari perubahan ini? Apa dia melupakannya? Memutuskan itu semua
cuma imajinasinya? Mungkinkah ia memaafkan aku karena tidak menepati janjiku?
89
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Pertanyaan-pertanyaan itu membakar tenggorokanku seperti dahaga.
Mungkin satu kali saja melihat kedalam matanya. Cuma untuk melihat siapa tahu bisa
menemukan jawabannya disana...
Tidak. Bahkan itu tidak boleh. Tidak jika aku ingin mengubah masa depan.
Aku menggeser daguku seinci ke arahnya tanpa berpaling dari depan kelas. Aku
mengangguk sekali, kemudian kembali memandang lurus kedepan.
Dia tidak bicara lagi padaku.
Sorenya, usai sekolah, aku langsung berlari ke Seattle seperti yang kulakukan kemarin.
Keperihanku sedikit lebih baik saat sedang terbang diatas tanah, mengubah sekelilingku
menjadi bayangan hijau kabur.
Berlari seperti ini sekarang menjadi kebiasaan harian.
Apa aku mencintai dia? Aku rasa tidak. Belum. Bagaimanapun juga penglihatan Alice
terus mengangguku. Aku bisa melihat betapa mudahnya untuk jatuh cinta pada Bella. Itu
sama persis seperti jatuh: tanpa daya. Berjuang untuk tidak mencintai dia justru kebalikannya
dari jatuh—seperti mengangkat tubuhku naik ke puncak terjal, sejengkal demi sejengkal,
begitu meletihkan seakan cuma kekuatan manusia yang kupunya.
Lebih dari satu bulan telah lewat. Dan setiap hari justru makin sulit. Ini tidak masuk
akal. Aku selalu menunggu kapan bisa melaluinya, untuk bisa berjalan lebih mudah. Tapi itu
tidak kunjung terjadi. Mungkin ini yang dimaksud Alice ketika mengatakan aku tidak akan
sanggup menjauh dari gadis itu. Dia sudah melihat akumulasi sakitku, dan bukannya
berkurang. Tapi aku bisa menahan sakit.
Aku tidak akan menghancurkan masa depan Bella. Jika ditakdirkan mencintai dia,
bukankah menghindari dia adalah hal minimal yang bisa kulakukan?
Tapi menghindari dia adalah batasan yang mampu kutanggung. Aku bisa berlagak
mengabaikan dia, tidak pernah melihat ke arahnya. Aku bisa berlagak dia tidak menarik
perhatianku. Tapi hanya sebatas itu, hanya berlagak, bukan yang sebenarnya.
Aku selalu memperhatikan setiap tarikan napasnya, setiap kata yang ia ucap.
Aku membagi penyiksaanku menjadi empat kategori.
Dua yang pertama sudah tidak asing. Aroma dan kesunyian-mental dia. Atau, bisa
dibilang—untuk meletakan tanggung jawab pada diriku, seperti yang semestinya—rasa haus
90
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
dan penasaranku.
Yang pertama adalah yang paling pokok. Aku tidak pernah bernapas selama pelajaran
biologi. Tentu saja ada pengecualian—saat harus menjawab pertanyaan, atau sesuatu yang
seperti itu, aku butuh mengambil napas untuk bicara. Setiap kali, efeknya sama seperti hari
pertama—terbakar, haus, dan kebengisan yang ingin meloncat keluar. Pada saat seperti itu
sangat sulit untuk berpikiran waras. Dan, sama seperti di hari pertama, monster dalam diriku
sudah siap dengan giginya, begitu dekat dengan permukaan...
Sedang penasaran adalah yang paling konstan dari penyiksaanku. Pertanyaan ini terus
mengahantui: Apa yang sedang ia pikirkan sekarang? Saat kudengar dia mendesah pelan.
Saat tanpa sadar memilin rambutnya. Saat menjatuhkan bukunya lebih keras dari biasanya.
Saat terburu-buru masuk kelas terlambat. Saat mengetuk-ngetukan kakinya tidak sabaran ke
lantai.
Tiap gerakan yang tertangkap ujung mataku adalah misteri yang menjengkelkan. Ketika
ia bicara ke murid lain, aku menganalisa tiap kata dan intonasinya. Apa dia mengutarakan
pikirannya, atau sekedar mengatakan yang sebaiknya dikatakan? Kedengarannya ia lebih
sering mengutarakan apa yang diharapkan lawan bicaranya. Ini mengingatkan aku pada
keluargaku dan keseharaian palsu kami—kami melakukannya jauh lebih baik dari dia.
Kecuali kalau penangkapanku itu salah, dan hanya bayanganku saja. Kenapa juga dia harus
pura-pura? Dia bagian dari mereka—manusia remaja.
Mike Newton secara mengejutkan masuk dalam bagian penyiksaanku. Siapa sangka
manusia-kebanyakan yang membosankan seperti dia bisa jadi sangat mengesalkan? Kalau
mau adil, aku seharusnya berterima kasih pada bocah itu. Dia membuat gadis itu terus bicara.
Aku banyak belajar tentang dia dari situ—aku masih terus melengkapi daftarku. Tapi
sebaliknya, bantuan Mike justru membuatku makin jengkel. Aku tidak ingin Mike menjadi
orang yang memecahkan rahasia gadis itu. Aku yang ingin melakukannya.
Untung Mike tidak pernah menyadari pertanda kecil yang kadang muncul pada bahasa
tubuhnya. Dia membentuk sosok Bella yang tidak nyata—seorang perempuan seumum
dirinya. Dia tidak memperhatikan ketidak-egoisan dan keberanian yang membedakan Bella
dari manusia lain. Dia tidak mendengar kedewasaan-abnormal pikirannya saat ia bicara. Dia
tidak menyadari ketika Bella membicarakan ibunya, dia kedengaran lebih seperti orang tua
91
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
membicarakan anaknya daripada sebaliknya—penuh sayang, murah hati, kagum, dan
cenderung protektif. Bocah itu tidak mendengar kesabaran pada suaranya ketika ia pura-pura
tertarik pada segala macam ceritanya, dan tidak menilai kebaikan hati dibalik kesabarannya
itu.
Dari percakapan gadis itu dengan Mike, aku berhasil menambahkan satu sifat yang
paling penting kedalam daftarku, yang paling menonjol, sangat sederhana namun jarang
kujumpai: Bella orang baik. Sifat yang lainnya cuma penjabaran dari itu—baik hati, tidak
cari perhatian, tidak egois, penyayang, dan berani—dia benar-benar orang baik.
Bagaimanapun juga penemuan bermanfaat ini tidak melunakan sikapku pada si bocah.
Sikap posesifnya terhadap Bella—seolah Bella akan jadi miliknya—memancing
kemarahanku, hampir sebesar yang diakibatkan segala fantasinya tentang Bella. Seiring
berjalannya waktu ia juga lebih percaya diri. Karena tampaknya Bella lebih memilih dia
ketimbang cowok lain yang ia anggap saingan—Tyler Crowley, Eric Yorkie, dan bahkan,
kadang-kadang, diriku.
Secara rutin ia selalu duduk di sisi mejanya sebelum kelas dimulai, mengajaknya
ngobrol, tersemengati melihat senyumannya. Hanya senyum sopan, aku mengatakan pada
diriku sendiri. Tiap kali aku selalu menghibur diri dengan membayangkan menapuk
wajahnya hingga terlempar ke tembok... itu tidak akan terlalu fatal...
Mike jarang menganggapku sebagai saingan. Setelah insiden waktu itu, dia sempat
khawatir Bella dan aku jadi lebih dekat, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sebelumnya dia
selalu terganggu dengan tatapanku yang selalu tertuju pada Bella. Tapi kini aku sama
mengabaikannya seperti yang lain, dan itu membuat Mike puas.
Apa yang sedang ia pikirkan? Apa dia menyukai perhatian Mike?
Dan, akhirnya, hal terakhir dari siksaanku, yang paling menyakitkan: sikap acuh Bella.
Sama seperti aku mengacuhkan dia, dia mengacuhkan aku. Dia tidak pernah mengajakku
bicara lagi. Yang bisa kuketahui, dia tidak pernah memikirkan aku sama sekali.
Ini bisa membuatku gila—atau bahkan mematahkan tekadku untuk merubah masa
depan. Kecuali kadang ia menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu. Aku tidak
melihatnya sendiri. Aku melarang diriku untuk melihat ke dia. Tapi Alice selalu memberi
peringatan ketika ia akan menoleh ke arah kami; yang lain masih khawatir pada gadis itu.
92
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Itu sedikit mengurangi rasa sakit, mengetahui kadang ia memandangiku dari jauh.
Tentu saja, bisa jadi dia cuma sedang mengira-ngira mahluk mengerikan apa aku ini.
“Bella sebentar lagi akan melihat ke Edward. Bersikap wajar,” kata Alice pada suatu
selasa di bulan Maret. Semua segera membuat gerak-gerik kecil dan mengganti tumpuan
layaknya manusia; tidak bergerak sama sekali—beku—adalah ciri kaum kami.
Aku menghitung seberapa sering dia melihat ke arahku. Itu membuatku senang,
meskipun seharusnya tidak, bahwa frekuensinya tidak berkurang sama sekali. Aku tidak tahu
apa artinya, tapi membuatku merasa jauh lebih baik.
Alice mendesah. Aku harap...
“Jangan ikut campur, Alice,” tukasku dari balik napas. “Itu tidak akan terjadi.”
Dia cemberut. Alice sangat penasaran ingin mewujudkan mimpi-persahabatannya
dengan Bella. Dalam cara yang aneh, dia merindukan perempuan yang tidak ia kenal.
Aku akui, kau lebih baik dari yang kukira. Kau membuat masa depan itu menjadi kabur
dan kacau lagi. Semoga kau senang.
“Itu sangat masuk akal buatku.”
Dia mendengus.
Aku berusaha membuatnya diam. Aku sedang tidak ingin ngobrol. Moodku sedang
jelek—lebih tegang dari yang mereka lihat. Hanya Jasper yang menyadari. Dia membaca
luapan pancaran stres dariku dengan kemampuan uniknya, yang bisa merasa dan
mempengaruhi mood orang lain. Namun dia tidak mengerti alasan dibalik mood itu, dan—
karena setiap hari moodku memang selalu buruk—dia mengabaikannya.
Hari ini akan sulit. Lebih sulit dari kemarin. Selalu begitu polanya.
Mike Newton, bocah menjengkelkan yang tidak boleh kuanggap sebagai saingan,
berencana mengajak Bella kencan.
Sebentar lagi akan ada pesta dansa musim semi. Kali ini pihak perempuan yang
memilih pasangannya. Dan Mike sangat berharap Bella akan mengajak dia. Tapi Bella masih
belum mengajaknya, dan ini menggoyahkan kepercayaan dirinya. Posisinya terjepit—aku
menikmati kegusaran dia lebih dari semestinya—karena Jessica Stanley sudah mengajak dia
duluan. Dia tidak mau menjawab “ya,” karena masih berharap Bella memilih dia (menjadi
bukti kemenangan atas para pesaingnya), tapi ia juga segan menjawab “tidak,” takut berakhir
93
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
tidak mendapatkan keduanya.
Jessica sendiri tersinggung dengan keraguan Mike. Ia bisa menebak alasan dibaliknya,
dan ia jadi menjelek-jelekkan Bella di pikirannya. Lagi, instingku membuatku ingin
meletakan diri diantara pikiran marah Jessica dan Bella. Aku memahami insting itu lebih baik
sekarang, tapi justru jadi lebih menjengkelkan karena tidak bisa melakukan apa-apa.
Tidak kusangka bisa sampai sejauh ini! Bisa-bisanya aku sampai ingin terlibat dalam
drama picisan yang sebelumnya sempat kuhina-hina ini.
Mike sedang memberanikan diri saat berjalan bersama Bella ke kelas biologi. Aku
mendengarkan pergolakan batinya saat menunggu mereka masuk. Bocah itu lembek. Dia
sengaja cuma menunggu, takut ketertarikannya diketahui Bella sebelum ia menunjukan
tanda-tanda akan mengajaknya. Dia tidak ingin terlihat lemah hingga ditolak. Dia lebih
memilih Bella duluan yang mulai.
Pengecut.
Dia duduk di ujung meja lagi, merasa nyaman dengan kebiasaan itu. Aku
membayangkan bagaimana suaranya jika badannya membentur tembok hingga tulangtulangnya
remuk.
“Jadi,” kata Mike ke gadis itu. Matanya menatap lantai. “Jessica memintaku pergi
dengannya ke pesta dansa musim semi.”
“Bagus, dong,” Bella langsung menjawab dengan penuh semangat. Sulit untuk tidak
tersenyum saat Mike akhirnya menyerap nada itu. Dia mengharapkan tanggapan yang
negatif. “Kau akan bersenang-senang dengan Jessica.”
Dia berjuang mencari lanjutan yang tepat. “Well...” dia ragu-ragu, dan hampir secara
kecut mundur. Kemudian ia memberanikan diri lagi. “Aku bilang padanya akan kupikirkan.”
“Kenapa kau bilang begitu?” Nadanya tidak setuju, tapi ada secuil kelegaan juga.
Apa itu artinya? Kemarahan yang muncul tiba-tiba membuat tanganku mengepal.
Mike tidak mendengar kelegaan itu. Wajahnya merah padam—panasnya langsung
terasa, ini seperti undangan—dan ia melihat ke lantai lagi.
“Aku bertanya-tanya jika...well, jika kau mungkin punya rencana untuk mengajakku.”
Bella ragu-ragu.
Dalam sedetik keraguan itu, aku melihat masa depannya dengan lebih jelas.
94
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Gadis itu mungkin akan menjawab 'ya' pada Mike, atau mungkin 'tidak'. Tapi, apapun
itu, suatu saat nanti, ia akan berkata ya pada seseorang. Dia menyenangkan dan menawan.
Para pria-manusia sangat menyadari hal itu. Entah ia akan memilih diantara orang-orang
menyedihkan ini, atau menunggu sampai pergi dari Forks, akan datang hari dimana ia akan
berkata ya.
Aku melihat hidupnya dengan sangat jelas—kuliah, karir...percintaan, pernikahan. Aku
melihat dia dalam gandengan ayahnya lagi, bergaun putih gading, wajahnya bersemu bahagia
saat berjalan dengan iringan simfoni Wagner.
Luka yang kurasakan melebihi segalanya. Manusia biasa pasti akan mati menanggung
sakit seperti ini—mereka tidak akan bisa hidup.
Dan bukan cuma sakit, tapi sekaligus amarah yang sangat.
Amarah ini menuntut pelampiasan sekarang juga. Meskipun bocah ini bukan yang akan
dijawab ya oleh Bella, tanganku gatal ingin meremukan tengkoraknya, menjadikan dia
sebagai contoh bagi siapapun yang ingin mendekati Bella.
Aku tidak memahami perasaan ini—campuran dari rasa sakit, amarah, hasrat, dan putus
asa. Aku belum pernah merasakan sebelumnya; aku tidak bisa menamakannya.
“Mike, menurutku kau harus bilang ya padanya,” Bella menjawab dengan suara lembut.
Harapan Mike runtuh. Dalam kesempatan berbeda aku akan menikmatinya, tapi aku
sedang bingung dengan perasaan menyakitkan ini—dan menyesali dampaknya padaku.
Alice benar. Aku tidak cukup kuat.
Saat ini, Alice akan mengamati bagaimana masa depan akan berputar dan berubahubah.
Apa ini akan membuatnya senang?
“Apa kau sudah mengajak seseorang?” Mike bertanya dengan kesal terpendam. Dia
mendelik padaku, curiga untuk pertama kalinya selama berminggu-minggu ini. Aku sadar
telah mengkhianati tekadku sendiri; kepalaku sedikit miring kearah Bella.
Rasa iri liar dalam pikiran Mike—iri pada siapapun yang dipilih gadis ini—mendadak
memberi nama pada emosi-tak-bernamaku.
Aku cemburu.
“Tidak,” gadis itu berkata dengan sedikit jejak humor di suaranya. “Aku tidak akan
datang ke pesta dansa.”
95
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Melebihi segala penyesalan dan marah, aku merasa lega pada jawabannya. Saat itu juga
aku mulai mempertimbangakan saingan-sainganku yang lain.
“Kenapa tidak?” Mike bertanya dengan agak kasar. Aku tersinggung mendengar Mike
menggunakan nada seperti itu ke dia. Aku menahan geramanku.
“Aku akan pergi ke Seattle sabtu itu,” jawabnya.
Penasaranku tidak sehebat sebelumnya—kini saat aku telah berniat untuk mencari
jawaban pertanyaan itu. Aku akan segera tahu alasannya sebentar lagi.
Suara Mike berubah membujuk. “Tidak bisa kah kau pergi lain kali?”
“Maaf, tidak bisa.” Bella kini agak ketus. “Jadi sebaiknya kau tidak membuat Jess
menunggu lebih lama—itu tidak baik.”
Kepeduliannya pada Jessica mengipasi api cemburuku. Perjalanan ke Seattle jelas-jelas
cuma alasan untuk mengelak—apa penolakannya murni karena loyalitas dia pada temannya?
Dia jauh lebih dari tidak-egois jika begitu. Apa sebetulnya dia berharap bisa berkata ya?
Atau, apa keduanya bukan? Jangan-jangan dia tertarik dengan orang lain?
“Ya, kau benar,” gumam Mike, sangat terpukul hingga aku hampir merasa kasihan.
Hampir.
Di menjatuhkan pandangannya dari si gadis, menghentikan pandanganku ke wajah
Bella dalam pikirannya.
Hal itu tidak boleh terjadi.
Maka untuk pertama kalinya dalam sebulan, aku menoleh untuk membaca sendiri
wajahnya. Rasanya sangat lega membiarkan diriku melakukan ini, seperti tarikan napas di
permukaan pada penyelam yang kehabisan oksigen.
Matanya tertutup, dua tangannya menekan kedua sisi wajahnya. Bahunya terkulai
galau. Dia menggeleng sangat pelan, seolah ingin mengusir sesuatu dari pikirannya.
Frustasi. Menarik.
Suara Mr. Banner membangunkan dia dari lamunan. Matanya pelan-pelan membuka.
Dan ia langsung melihat kearahku, mungkin merasakan tatapanku. Dia menatap kedalam
mataku dengan ekspresi penuh tanya yang sama dengan yang menghantuiku selama ini.
Aku tidak merasa menyesal, bersalah, atau marah dalam detik ini. Aku tahu segala
perasaan itu akan datang lagi, tapi untuk saat ini aku dimabukan oleh kegugupan yang aneh.
96
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Seakan aku telah menang, dan bukannya kalah.
Dia tidak membuang muka, meskipun aku menatapnya dengan keingintauan yang tidak
pantas, sia-sia mencoba membaca pikirannya melalui mata coklat mudanya. Matanya penuh
pertanyaan daripada jawaban.
Aku bisa melihat pantulan mataku sendiri. Dua mataku hitam karena haus. Hampir dua
minggu sejak terakhir kali berburu; ini bukan hari yang aman bagi keruntuhan niatku. Tapi
sepertinya kegelapan mataku tidak menakuti dia. Ia masih tidak membuang muka, hingga
kemudian semburat halus merah muda meronai pipinya.
Apa yang sedang ia pikirkan?
Aku hampir menanyakan itu keras-keras, tapi kemudian Mr. Banner memanggil
namaku. Aku memilih jawaban yang benar dari pikirannya sambil menoleh sekilas.
Aku menarik napas cepat. “Siklus Krebs.”
Rasa haus menghanguskan tenggorokanku—mengencangkan otot-ototku dan
memenuhi mulutku dengan liur. Aku memejam, berusaha berkonsentrasi menghalau hasrat
akan darahnya yang mengamuk dalam diriku.
Monster itu jauh lebih kuat dari sebelumnya. Monster itu sedang berlonjak gembira.
Dia merengkuh dua pilihan masa depan yang membuat posisinya imbang, kesempatan sama
besar yang selama ini ia idam-idamkan dengan licik. Pilihan ketiga yang coba kubangun
dengan kekuatan niat semata telah runtuh—dihancurkan oleh kecemburuan sepele—dan
monster itu hampir mencapai tujuannya.
Penyesalan dan rasa bersalah terbakar bersama dahaga. Jika aku punya kemampuan
memproduksi air mata, mataku pasti sudah berlinangan sekarang.
Apa yang telah kulakukan?
Mengetahui telah kalah, sudah tidak ada lagi alasan untuk menahan apa yang
kuinginkan; aku kembali memandangi gadis itu lagi.
Dia bersembunyi dibalik rambutnya, tapi aku bisa melihat melalui celah rambutnya
bagaimana pipinya kini berwarna merah terang.
Sang monster menyukai itu.
Dia tidak membalas tatapanku lagi, tapi jarinya memilin rambut gelapnya dengan
gugup. Jari tangannya yang lembut, pergelangan tangannya yang rapuh—keduanya sangat
97
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
ringkih, bahkan hanya dengan hembusan napas bisa kupatahkan.
Tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa melakukan ini. Dia terlalu rapuh, terlalu baik, terlalu
berharga untuk menerima takdir ini. Aku tidak mengijinkan kehidupanku menghancurkan
hidupannya.
Tapi aku juga tidak bisa menjauh dari dia. Alice betul tentang itu.
Monster dalam diriku mendesesis frustasi saat aku bimbang.
Selama terombang-ambing, satu jam singkatku bersama dia berlalu cepat. Bel berbunyi,
dan ia mengumpulkan barang-barangnya tanpa menengok. Ini membuatku kecewa, tapi tidak
mungkin berharap sebaliknya. Caraku memperlakukan dia sejak insiden itu tidak termaafkan.
“Bella?” kataku tanpa bisa kucegah. Tekadku sudah tercabik-cabik.
Dia bimbang sebelum melihat ke arahku; saat menoleh ekspresinya hati-hati, curiga.
Aku mengingatkan diriku sendiri bahwa ia sangat berhak untuk tidak percaya padaku.
Bahwa seharusnya begitu.
Dia menunggu, tapi aku hanya memandanginya, membaca wajahnya. Aku menarik
napas pendek, melawan rasa hausku.
“Apa?” dia akhirnya bertanya. “Apa kau bicara denganku lagi?” ada bagian pada
kekesalannya, yang seperti ketika marah, justru terlihat menggemaskan. Itu membuatku ingin
tersenyum.
Aku tidak begitu yakin bagaimana menjawabnya. Apa aku bicara dengan dia lagi,
dalam pengertian yang ia maksud?
Tidak. Tidak jika aku bisa menghindarinya. Aku akan berusaha menghindarinya.
“Tidak, tidak juga,” aku memberitahu dia.
Dia menutup mata, yang membuatku frustasi. Ini memotong jalurku membaca
perasaannya. Dia mengambil napas panjang tanpa membuka mata. Rahangnya terkunci.
Matanya masih tertutup saat bicara. Tentu ini bukan kebiasaan manusia normal. Kenapa
dia melakukannya?
“Lalu apa maumu, Edward?”
Mendengar namaku diucapkan oleh bibirnya, berdampak aneh pada tubuhku. Jika aku
punya detak jantung, pastilah berdetak lebih cepat.
Tapi bagaimana menjawabnya?
98
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Apa adanya, aku memutuskan. Aku akan berkata apa adanya mulai sekarang. Aku tidak
mau tidak-dipercaya oleh dia, bahkan jika untuk mendapat kepercayaannya adalah mustahil.
“Aku minta maaf.” itu adalah hal yang paling jujur. Sayangnya aku cuma bisa minta
maaf dengan aman atas hal yang sepele. “Aku tahu sikapku sangat kasar. Tapi lebih baik
seperti itu, sungguh.”
Akan lebih baik bagi dia jika aku terus bersikap kasar. Apa aku bisa?
Matanya membuka, ekspresinya masih hati-hati.
“Aku tidak tahu apa maksudmu.”
Aku coba memberi peringatan sebatas yang kubisa. “Lebih baik kita tidak berteman.”
tentu dia menyadari peringatan itu. Dia perempuan cerdas. “Percayalah.”
Matanya menyipit. Aku ingat pernah mengatakan itu sebelumnya—tepat sebelum
melanggarnya. Aku mengernyit saat dia menggertakan gigi—jelas dia juga masih ingat.
“Sayang sekali kau tidak menyadarinya sejak awal,” ujarnya marah. “Jadi kau tidak
perlu repot-repot menyesal begini.”
Aku memandangnya syok. Apa yang ia ketahui tentang penyesalanku?
“Menyesal? Menyesal kenapa?” tanyaku menuntut.
“Karena tidak membiarkan van bodoh itu menimpaku!” dia meledak marah.
Aku membeku, bingung.
Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Menyelematkan nyawanya adalah satu-satunya
pilihan tepat yang kulakukan sejak bertemu dia. Satu-satunya yang tidak membuatku malu.
Satu dan hanya satu-satunya yang membuatku lega telah 'hidup'. Aku terus berjuang agar dia
tetap hidup sejak pertama mencium aromanya. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu padaku.
Berani-beraninya dia mempertanyakan satu-satunya perbuatan baikku diantara semua
kekacauan ini.
“Kau pikir aku menyesal telah menyelamatkanmu?”
“Aku tahu kau merasa begitu,” dia menjawab dengan ketus.
Kesinisannya atas maksud baikku membuatku menggelegak marah. “Kau tidak tahu
apa-apa.”
Betapa ruwetnya cara kerja pikirannya! Dia pasti tidak berpikir dengan cara yang sama
seperti manusia manapun. Pasti itu penjelasan dibalik kesunyian-mentalnya. Dia sama sekali
99
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
berbeda.
Dia membuang muka dan menggertakan gigi lagi. Pipinya merona, kali ini karena
marah. Dia menumpuk buku-bukunya dengan kasar, menyambarnya, lalu berjalan ke pintu
tanpa menoleh ke arahku.
Bahkan saat kesal seperti ini, mustahil tidak menganggap ekspresi marahnya sedikit
menghibur.
Langkahnya kaku, tanpa terlalu memperhatikan jalan, dan kakinya tersangkut ujung
pintu. Dia tersandung dan semua bukunya jatuh berantakan. Bukannya memunguti barangbarangnya,
dia hanya berdiri mematung, bahkan tidak melihat kebawah, seakan tidak yakin
buku-buku itu pantas diambil.
Aku berusaha tidak tertawa.
Tidak ada yang memperhatikan aku; aku segera ke sisinya, mengumpulkan semua
buku-bukunya sebelum ia melihat kebawah.
Dia membungkuk, melihatku, dan kemudian membeku. Kuserahkan buku-bukunya,
sambil kupastikan kulit dinginku tidak menyentuhnya.
“terima kasih,” jawabnya dingin.
Nada bicaranya mengembalikan kemarahanku.
“Sama-sama,” kataku sama dinginnya.
Dia bangkit berdiri lalu langsung pergi ke kelas berikutnya tanpa menoleh.
Aku memperhatikan sampai sosoknya hilang.
Pelajaran bahasa Spanyol berjalan kabur. Mrs. Goff tidak menggubris kelinglungan-ku
—dia tahu bahasa Spanyolku jauh lebih fasih dibanding dia, karena itu ia memberi banyak
kelonggaran—membuatku bebas untuk berpikir.
Jadi, aku tidak bisa mengabaikan gadis itu. Hal itu sudah pasti. Tapi apa artinya aku
tidak punya pilihan selain menghancurkan dia? Itu tidak mungkin satu-satunya masa depan
yang tersisa. Pasti ada pilihan lain, yang lebih manusiawi.
Aku berusaha memikirkan suatu cara...
Aku tidak terlalu memperhatikan Emmet sampai jam pelajaran hampir selesai. Dia
penasaran—Emmet tidak terlalu pandai membaca mood orang lain, tapi ia bisa melihat
perubahan nyata pada diriku. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi. Dia berupaya keras
100
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
mendefinisikan perubahannya. Dan akhirnya memutuskan bahwa aku terlihat penuh harapan.
Penuh harapan? Apa seperti itu kelihatannya dari luar?
Aku mempertimbangkan ide akan harapan selama berjalan ke mobil. Kira-kira
seharusnya aku berharap apa?
Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk mempertimbangan hal itu. Sesensitif seperti
biasanya, suara nama Bella di kepala...sainganku—harus kuakui—menarik perhatianku. Eric
dan Tyler, telah mendengar—dengan puas sekali—atas kegagalan Mike. Mereka berdua
sedang mempersiapkan langkah mereka sendiri.
Eric telah mengambil posisi duluan. Dia menyandar ke truk Bella agar dia tidak bisa
menghindar. Kelas Tyler keluar agak telat, dan ia mesti buru-buru sebelum terlambat
mengejar Bella.
Yang ini aku harus lihat.
“Tunggu yang lain disini, oke?” aku menggumam pada Emmet.
Matanya curiga, tapi ia cuma mengangkat bahu dan mengangguk.
Anak ini mulai gila. Dia membatin, geli dengan permintaan anehku.
Aku melihat Bella keluar dari gimnasium. Aku menunggu di tempat yang tidak
kelihatan. Saat ia mulai mendekati sergapan Eric, baru aku jalan, mengatur langkahku agar
nanti bisa lewat di waktu yang pas.
Aku memperhatikan bagaimana ia terkejut melihat bocah itu disamping truknya. Dia
terhenti sebentar, kemudian rileks lagi dan meneruskan langkahnya.
“Hai, Eric,” ia menyapa dengan suara ramah.
Tiba-tiba aku jadi gelisah. Bagaimana jika bocah ceking dengan kulit bermasalah ini,
entah bagaimana, menyenangkan hatinya?
Eric menyaut dengan terlalu keras, “Hai, Bella.”
Gadis itu sepertinya tidak menyadari kegugupan Eric.
“Ada apa?” Dengan santai ia membuka pintu truknya tanpa melihat ke wajah cemas
bocah itu.
“Mmm, aku cuma bertanya-tanya...maukah kau pergi ke pesta dansa musim semi
bersamaku?” suaranya bergetar.
Dia akhirnya menoleh. Apa dia terkejut, bingung, atau senang? Eric tidak sanggup
101
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
menatapnya, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya di pikiran dia.
“Kupikir perempuanlah yang mengajak,” dia terdengar agak bingung.
“Iya, sih,” dia mengakui malu-malu.
Bocah memelas ini tidak semenjengkelkan Mike Newton, tapi aku baru bisa bersimpati
padanya setelah Bella menjawab dia dengan lembut. “terima kasih untuk ajakannya, tapi aku
akan pergi ke Seattle hari itu.”
Dia telah mendengar hal itu, tapi tetap saja ia merasa kecewa.
“Oh ya sudah,” gumamnya. Dia hampir tidak berani mengangkat matanya. “Mungkin
lain kali.”
“Tentu,” dia menjawab sopan. Kemudian ia menggigit bibirnya, seakan menyesal telah
memberi harapan. Aku suka itu.
Eric melangkah lemas, menuju ke arah berlawanan dari mobilnya. Yang ia pikirkan
cuma pergi.
Aku melewati Bella tepat pada saat itu, dan mendengar desah leganya. Aku tertawa.
Dia menoleh mendengar suaraku, tapi aku memandang lurus kedepan, berusaha
menahan bibirku agar tidak tersenyum girang.
Tyler terlihat masih jauh, tergesa-gesa mengejar Bella. Dia lebih berani dan lebih yakin
dibanding dua pesaingnya. Selama ini ia belum mendekati Bella hanya karena menghormati
Mike, yang telah lebih dulu melakukan pendekatan.
Aku ingin dia berhasil mengejar Bella karena dua alasan. Jika—seperti yang sudah
kusangka—semua perhatian ini sangat mengganggu Bella, aku ingin menonton reaksinya.
Tapi, jika ternyata tidak menggangu—jika memang ajakan Tyler yang ia tunggu—maka aku
ingin mengetahui hal itu.
Aku benar-benar menilai Tyler sebagai pesaingku, meskipun tahu itu keliru. Bagiku dia
biasa-biasa saja, membosankan, dan tidak ada istimewanya sama sekali. Tapi memangnya
aku tahu selera Bella? Barangkali dia suka dengan cowok yang biasa-biasa saja...
Aku mengernyit pada pikiran itu. Aku tidak mungkin bisa biasa-biasa saja. Bodohnya
aku ikut-ikutan bersaing mengejar perhatian Bella. Bagaimana mungkin dia perduli pada
monster?
Dia terlalu baik bagi seorang monster.
102
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Aku sebaiknya membiarkan dia pulang, tapi rasa penasaranku yang absurd menahanku
melakukan sesuatu yang benar. Lagi. lagipula, bagaimana jika Tyler kehilangan kesempatan,
dan justru menghubungi nanti saat aku tidak bisa mendengar hasilnya? Aku cepat-cepat
memundurkan Volvoku, mendului dia dan menghalangi truknya.
Emmet dan yang lain dalam perjalanan. Emmet sedang menggambarkan tingkah
anehku. Mereka berjalan pelan-pelan, memperhatikan aku, mencari tahu apa yang sedang
kulakukan.
Aku memperhatikan gadis itu dari kaca spion. Dia mendelik ke belakang mobilku.
Kelihatannya ia seperti berharap sedang mengendarai tank dan bukannya truk Chevy karatan.
Tyler buru-buru mengambil mobil dan berhasil mengantri di belakangnya, bersyukur
pada tindakanku yang tidak biasa. Dia melambai ke gadis itu, berusaha menarik
perhatiannya, tapi gadis itu tidak melihat. Dia menunggu sebentar, kemudian keluar dari
mobil, menghampiri sisi penumpang truk gadis itu. Dia mengetuk kacanya.
Gadis itu terlonjak, kemudian menatap Tyler bingung. Setelah beberapa saat, ia
menurunkan jendelanya secara manual, kelihatannya sedikit macet.
“Sori, Tyler,” katanya dengan suara kesal. “Mobil Cullen menghalangiku.”
Dia mengucapkan nama keluargaku dengan suara tajam—dia masih marah padaku.
“Iya, aku tahu,” ujarnya, tidak terpengaruh oleh moodnya. “Aku hanya ingin
menanyakan sesuatu selagi kita terjebak disini.”
Seringainya agak sombong.
Aku senang melihat wajahnya berubah pucat setelah menyadari niat Tyler.
“Maukah kau mengajakku ke pesta dansa musim semi?” dia bertanya penuh keyakinan.
“Aku akan pergi ke luar kota, Tyler,” dia menjawab agak ketus.
“Iya, Mike sudah cerita.”
“Lantas, kenapa—” dia menatap Tyler tajam.
Dia mengangkat bahu. “Aku pikir kau hanya ingin menolaknya secara halus.”
Matanya berkilat kesal, tapi kemudian meredup. “Sori, Tyler.” Dia tidak terdengar
menyesal sama sekali. “Aku benar-benar akan pergi ke luar kota.”
Dia menerima alasan itu, dan keyakinannya masih tidak tergoyahkan. “Oke, tidak apaapa.
Masih ada prom.”
103
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Dia kembali ke mobilnya.
Keputusanku tepat untuk tidak melewatkan hal ini.
Ekspresi kesal di wajahnya benar-benar layak untuk dilihat. Itu memberitahu apa yang
seharusnya tidak kucari tahu—bahwa ia tidak tertarik pada bocah-bocah itu.
Juga, ekspresinya adalah hal terlucu yang pernah aku lihat.
Saat keluargaku sampai ke mobil, mereka bingung melihat perubahanku, yang sedang
tertawa sendirian dan bukannya bersungut jengkel seperti biasanya.
Apa yang lucu? Emmet ingin tahu.
Aku cuma menggeleng sambil tertawa lagi karena melihat Bella menderumkan mesin
mobilnya dengan marah. Dia kelihatannya berharap sedang mengendarai tank lagi.
“Ayo pergi!” Rosalie mendesis tidak sabaran. “Berhenti bertingkah seperti orang idiot.
Itu kalau kau bisa.”
Ucapannya tidak menggangguku—aku terlalu terhibur. Tapi aku menuruti yang dia
minta.
Tidak ada yang bicara padaku selama perjalanan. Sementara aku terus tertawa-tawa
kecil sendirian gara-gara teringat wajahnya.
Saat tiba di jalan sepi—menginjak gas dalam-dalam mumpung tidak ada saksi—Alice
merusak moodku.
“Jadi boleh sekarang aku bicara pada Bella?” dia langsung bertanya begitu saja, tanpa
basa-basi.
“Tidak.” Aku langsung marah.
“Tidak adil! Apa yang kutunggu?”
“Aku belum memutuskan apa-apa, Alice.”
“Terserah.”
Di dalam kepalanya, dua takdir Bella menjadi jelas lagi.
“Apa gunanya berkenalan dengan dia?” Aku mendadak murung. “Jika aku hanya akan
membunuhnya?”
Alice sekejap ragu. “Kau ada benarnya,” dia mengakui.
Aku membelok tajam pada kecepatan sembilan puluh mil perjam, dan kemudian
mendecit berhenti, tepat beberapa inchi sebelum tembok garasi.
104
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Selamat menikmati jogingmu,” sindir Rosalie culas saat aku keluar dari mobil.
Tapi hari ini aku tidak lari. Aku berburu.
Yang lain baru akan berburu besok, tapi aku tidak sanggup untuk haus sekarang.
Pada akhirnya aku minum terlalu banyak—beberapa rusa besar dan satu beruang hitam.
Aku cukup beruntung bisa menemukan mereka di awal musim seperti ini. Aku kekenyangan
hingga tidak nyaman. Tapi kenapa masih belum juga cukup? Kenapa aroma dia harus lebih
kuat dari yang lain?
Ini aku berburu untuk persiapan besok. Tapi saat selesai berburu, dan masih berjam-jam
lagi sebelum matahari terbit, aku tahu besok terlalu lama.
Rasa gugup kembali melandaku saat menyadari aku akan mencari gadis itu sekarang
juga.
Aku berdebat dengan diriku sendiri selama perjalanan, tapi sisi culasku yang menang.
Aku melanjutkan rencanaku. Monster dalam diriku gelisah namun sudah terikat kencang.
Aku akan menjaga jarak. Aku cuma ingin tahu dimana dia. Aku hanya ingin melihat
wajahnya.
Ini sudah lewat tengah malam. Rumah Bella gelap dan sepi. Truknya diparkir di pinggir
jalan, mobil polisi ayahnya di depan rumah. Tidak ada pikiran yang terbangun di sekeliling
rumahnya. Aku mengawasi rumahnya dari balik kepekatan hutan yang menghampar di
seberang jalan. Pintu depan pasti terkunci—bukan masalah, tapi aku tidak mau meninggalkan
bukti dengan merusak pintunya. Jadi aku akan mencoba jendela atas dulu. Jarang ada orang
yang repot-repot menguncinya.
Aku berlari menyebrang jalan, lalu meloncat keatas rumahnya tidak sampai setengah
detik. Aku bergelantungan pada kusen jendela. Aku mengintip lewat kaca, dan napasku
terhenti.
Ini kamarnya. Aku bisa melihat dia di tempat tidurnya yang kecil. Selimutnya di lantai,
dan spreinya berantakan disekitar kakinya. Kemudian tiba-tiba ia bergerak gelisah dan
melempar satu tangannya keatas kepala. Tidurnya tidak bersuara, paling tidak hari ini. Apa ia
merasakan ada bahaya?
Batinku menyuruhku untuk pergi saat dia bergerak gelisah lagi. Apa bedanya aku
dengan tukang ngintip? Tidak ada bedanya. Bahkan aku jauh, jauh lebih buruk.
105
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Aku mengendurkan pegangan jariku, sudah akan turun, tapi sebelum itu aku ingin
mengamati dulu lagi wajahnya sebentar.
Wajahnya tidak tenang. Sedikit kerutan terlihat diantara alisnya. Ujung bibirnya turun.
Bibirnya bergerak-gerak, kemudian terbuka.
“Oke, mom,” dia menggumam pelan.
Bella bicara di tidurnya.
Rasa penasaran langsung membakarku, mengalahkan kejijikan pada apa yang sedang
kulakukan. Daya pikat ungkapan pikirannya yang terucap tanpa-sadar mustahil untuk
dilawan.
Aku coba membuka jendelanya, ternyata tidak terkunci, hanya saja agak macet karena
jarang dibuka. Kudorong pelan-pelan, berjengit tiap kali menimbulkan suara. Aku mesti
mencari oli untuk lain kali...
Lain kali? Aku menggelengkan kepala, lagi-lagi merasa jijik dengan diriku.
Aku menyelinap tanpa suara melalui jendela yang terbuka separuh.
Kamarnya kecil—berantakan tapi tidak kotor. Buku-buku berserakan di lantai
disamping tempat tidur, keping-keping CD bertebaran di dekat tapenya yang murahan, dan
diatas tapenya terdapat kotak tempat asesoris. Tumpukan-tumpukan kertas berhamburan
disekitar komputer yang seharusnya sudah dimuseumkan. Sepatu-sepatunya ditaruh begitu
saja di lantai kayu.
Aku sangat ingin membaca judul-judul bukunya dan CD-CD musiknya, tapi aku sudah
berjanji untuk menjaga jarak. Jadi aku cuma duduk di kursi goyang di pojok kamar.
Apa betul aku pernah berpikir penampilannya biasa-biasa saja? Aku mengingat lagi
saat hari pertama, dan kemuakanku pada bocah-bocah yang langsung tertarik padanya. Tapi
sekarang, jika kuingat lagi wajahnya di pikiran mereka, aku tidak mengerti kenapa aku tidak
lansung menilai dia cantik. Padahal jelas-jelas wajahnya cantik.
Saat ini—dengan rambut gelap berantakan diseputar wajah pucatnya, memakai kaos
oblong usang dengan celana panjang katun lusuh, roman rileks pulas, dan bibirnya yang
penuh sedikit merekah—dia membuatku terpesona.
Dia tidak bicara. Barangkali mimpinya sudah selesai.
Aku menatap wajahnya sambil berusaha mencari jalan lain selain dua pilihan masa
106
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
depan yang ada. Apa pilihanku cuma tinggal mencoba pergi lagi?
Yang lain sudah tidak bisa membantah lagi sekarang. Kepergianku tidak akan
membahayakan siapa-siapa. Tidak akan ada yang curiga. Tidak akan ada yang mengkaitkaitkan
dengan insiden kemarin.
Aku sebimbang tadi siang, dan semua kelihatannya mustahil.
Aku tidak mungkin menyaingi bocah-bocah manusia itu, entah ada yang membuat dia
tertarik atau tidak. Aku seorang monster. Bagaimana mungkin ia akan melihatku sebagai
sosok yang lain? Jika dia tahu siapa diriku sebenarnya, itu akan membuatnya ngeri ketakutan.
Sama seperti para korban dalam film horor, ia akan lari gemetar penuh teror.
Aku ingat hari pertamanya di kelas biologi...itu adalah reaksi yang paling tepat dari dia.
Sungguh konyol membayangkan bahwa jika saja aku yang mengajak dia ke pesta
dansa, mungkin ia akan membatalkan rencananya ke Seattle dan setuju pergi denganku.
Bukan aku yang dia takdirkan untuk dijawab ya. Melainkan orang lain, seseorang yang
hangat dan manusia. Dan bahkan—suatu saat nanti, ketika kata ya terucap—aku tidak boleh
memburu pria itu dan membunuhnya. Bella pantas mendapatkannya, siapapun itu. Dia layak
mendapatkan kebahagiaan dan rasa sayang dari siapapun pilihannya.
Aku berhutang itu padanya; aku tidak bisa lagi pura-pura hampir mencintai gadis ini.
Bagamanapun, tidak ada pengaruhnya kalau aku pergi, karena Bella tidak akan pernah
melihatku dengan cara yang seperti kuharapkan. Dia tidak akan pernah melihatku sebagai
sosok yang pantas dicintai.
Tidak akan pernah.
Bisakah jantung beku yang telah mati patah? Rasanya jantungku bisa.
“Edward,” ucap Bella.
Aku membeku, memperhatikan matanya yang tertutup.
Apa dia terbangun, melihatku disini? Dia kelihatanya pulas, namun suaranya sangat
jernih...
Dia mendesah pelan, kemudian bergerak gelisah lagi, berguling kesamping—masih
pulas dan bermimpi.
“Edward,” dia bergumam lembut.
Dia memimpikan aku.
107
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Bisakah jantung beku yang sudah mati kembali berdetak? Sepertinya punyaku bisa.
“Tinggal lah,” dia mendesah. “Jangan pergi. Tolong... jangan pergi.”
Dia memimpikan aku, dan itu bukan mimpi buruk. Dia menginginkan aku tinggal
bersamanya, disana di mimpinya.
Aku berjuang mencari istilah dari perasaan yang membanjiri diriku, tapi aku tidak
punya istilah yang cukup kuat untuk mengartikannya. Selama beberapa lama, aku tenggelam,
berenang-renang di dalamnya.
Ketika muncul ke permukaan, aku bukan lagi orang yang sama.
Hari-hariku tidak berujung, malam gelap tanpa akhir. Selalu tengah malam bagiku. Jadi
bagaimana mungkin matahari bisa terbit sekarang, di tengah tengah-malamku?
Pada hari dimana aku menjadi vampir, menukar jiwa dan kefanaanku dengan
keabadian, dalam proses transformasi yang menyiksa, aku benar-benar telah membeku.
Badanku menjadi sesuatu yang menyerupai batu daripada daging, kekal dan tidak berubah.
Kepribadianku juga ikut membeku—yang aku suka dan tidak suka, mood dan hasaratku;
semua membeku.
Hal yang sama juga terjadi pada yang lainnya. Kami semua membeku. Batu hidup.
Ketika kemudian terjadi perubahan pada kita, itu langka dan merupakan sesuatu yang
permanen. Aku melihatnya terjadi pada Carlisle, dan sepuluh tahun kemudian pada Rosalie.
Perasaan cinta merubah mereka dalam cara yang kekal, cara yang tidak akan pernah pudar.
Sudah lebih dari 80 tahun Carlisle menemukan Esme, dan tetap saja dia masih menatap Esme
dengan tatapan yang sama seperti saat menemukan cinta pertamanya. Dan akan selamanya
begitu bagi mereka.
Akan selalu seperti itu juga bagiku. Aku akan selalu mencintai gadis rapuh ini, untuk
selama eksistensiku yang tak terbatas.
Aku memandangi wajahnya yang terlelap, merasakan perasaan cintaku menetap pada
tiap sel di tubuh beku-ku.
Dia tidur lebih nyaman sekarang. Sebaris senyum pada bibirnya.
Aku akan selalu mengawasi dia seperti ini.
Aku mencintai dia, jadi aku akan berusaha menjadi kuat untuk bisa meninggalkan dia.
Aku tahu aku tidak sekuat itu sekarang. Akan kuupayakan. Tapi barangkali akhirnya aku akan
108
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
cukup kuat untuk mengelakan masa depannya dengan cara lain.
Alice hanya melihat dua takdir bagi Bella. Kini aku memahami keduanya.
Mencintai dia bukan berarti membuatku tidak akan membunuhnya, jika aku sampai
membuat kesalahan.
Namun begitu aku tidak bisa merasakan monster itu sekarang, tidak bisa menemukan
dimanapun dalam diriku. Barangkali cinta telah membungkam dia selamanya. Jika aku
membunuh Bella sekarang, itu bukan disengaja, hanya ketidak sengajaan yang mengerikan.
Aku akan sangat hati-hati. Aku tidak akan pernah mengendurkan kewaspadaannku. Aku
akan selalu mengontrol tiap tarikan napasku. Aku akan selalu menjaga jarak.
Aku tidak akan pernah membuat kesalahan.
Aku akhirnya memahami takdir yang kedua. Selama ini aku tidak habis pikir dengan
penglihatan itu—apa yang terjadi hingga dia akhirnya menjadi tahanan keabadian seperti
diriku ini? Sekarang—dibutakan kerinduan pada gadis ini—aku bisa mengerti, bagaimana
aku, dengan keegoisan yang tidak termaafkan, meminta tolong ayahku untuk melakukannya.
Meminta padanya untuk mengenyahkan jiwa gadis ini agar aku bisa mendapatkan dia
selamanya.
Dia berhak mendapatkan yang lebih baik.
Tapi aku melihat masa depan yang lain, satu benang tipis yang mungkin bisa kulewati,
jika dapat menjaga keseimbangan.
Apa aku sanggup? Bersamanya dan membiarkan dia menjadi manusia?
Secara sengaja aku mengambil napas dalam-dalam, membiarkan aromanya membakar
diriku. Kamarnya pekat dengan wangi tubuhnya; bau tubuhnya menempel di setiap
permukaan. Kepalaku seperti tenggelam, tapi kulawan pusing itu. Jika berniat menjalin
hubungan dengan dia, aku harus membiasakan diri dengan ini. Aku mengambil napas lagi,
napas yang membakar.
Aku memperhatikan dia tidur hingga matahari terbit dibalik awan timur, menyusun
rencana dan terus bernapas dalam-dalam.
Aku baru tiba di rumah setelah yang lain sudah berangkat sekolah. Aku cepat-cepat
ganti baju, menghindari tatapan penuh tanya Esme. Dia melihat binar samar di wajahku. Dia
109
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
merasa cemas sekaligus lega. Kesenduan panjangku membuatnya sedih, dan ia lega karena
sepertinya telah berakhir.
Aku berlari ke sekolah, sampai beberapa detik sebelum saudaraku. Mereka tidak
menoleh, meskipun Alice pasti telah memberitahu aku akan disini, di kerimbunan hutan
dekat parkiran. Aku menunggu sampai tidak ada yang melihat, kemudian berjalan santai dari
balik pepohonan ke parkiran.
Aku mendengar truk Bella menderu keras di belokan. Aku berhenti di belakang sebuah
suburban, di posisi aku bisa mengamati tanpa kelihatan.
Dia masuk ke parkiran, mendelik ke Volvoku selama beberapa saat sebelum mengambil
tempat parkir di ujung yang paling jauh. Dahinya mengerut.
Rasaya aneh mengingat dia sepertinya masih marah padaku, dan dengan alasan yang
baik pula.
Aku ingin menertawakan diriku sendiri—atau menendang sekalian. Semua gagasanku
jadi tidak ada artinya jika ternyata dia tidak tertarik padaku. Mimpinya tadi malam bisa
tentang sesuatu yang lain. Aku benar-benar bodoh dan tidak tahu diri.
Well, jauh lebih baik buat dia jika dia tidak tertarik padaku. Itu tidak akan
menghentikanku mengejar dia, tapi aku akan memberinya peringatan bahaya. Aku berhutang
itu padanya.
Aku berjalan tanpa suara, memikirkan cara yang paling baik buat mendekatinya.
Dia membuatnya jadi mudah. Kunci truknya terlepas dari genggaman saat ia keluar,
dan terjatuh ke dalam kubangan.
Dia membungkuk, tapi aku duluan, mengambilnya sebelum tangannya harus
menyentuh air dingin.
Aku bersandar ke truknya sementara dia terkejut dan berdiri.
“Bagaimana kau melakukan itu?” tanyanya sebal.
Iya, dia masih marah.
Aku menyerahkan kuncinya. “Melakukan apa?”
Dia mengulurkan tangan, dan aku menaruh kuncinya di telapak tangannya. Aku
mengambil napas panjang, menghirup aromanya.
“Muncul tiba-tiba.”
110
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Bella, bukan salahku jika kau tidak pernah memperhatikan sekelilingmu.” aku sedikit
bergurau. Apa ada yang dia tidak lihat?
Apa dia mendengar bagaimana aku mengucapkan namanya dengan penuh perasaan?
Dia mendelik padaku, tidak menghargai gurauanku. Jantungnya berdetak lebih cepat—
karena marah? Takut?
Setelah beberapa saat ia menunduk.
“Kenapa kemarin kau membuat kemacetan?” dia bertanya tanpa melihat mataku.
“Kupikir kau seharusnya berpura-pura aku tidak ada, bukannya membuatku kesal setengah
mati.”
Masih sangat marah. Butuh sedikit kerja keras agar bisa berbaikan dengannya. Aku
ingat dengan niatku untuk jujur...
“Itu demi Tyler, bukan aku. Aku harus memberi dia kesempatan.” Kemudian aku
tertawa. Aku tidak bisa menahannya, memikirkan ekspresi Bella kemarin.
“Kau—” dia terengah, terlalu marah untuk meneruskan kata-katanya. Itu dia—ekspresi
yang sama. Aku menahan tawaku. Dia sudah cukup marah.
“Dan aku tidak pura-pura kau tidak ada,” aku melanjutkan perkataanku tadi. Lebih baik
menggodanya dengan santai seperti ini. Dia tidak akan mengerti jika kutunjukan perasaanku
yang sebenarnya. Aku akan menakuti dia. Aku harus meredam perasaanku, menjaga agar
tetap kelihatan cuek...
“Jadi kau memang berusaha membuatku kesal setengah mati? Mengingat van Tyer
tidak melakukan tugasnya?”
Luapan marah langsung melandaku seketika itu juga. Apa dia sungguh-sungguh
mempercayai itu?
Tidak rasional bagiku untuk merasa terhina—dia tidak tahu transformasi yang terjadi
tadi malam. Tapi tetap saja aku marah.
“Bella, kau benar-benar sinting,” Tukasku marah.
Mukanya merah. Kemudian ia berbalik dan pergi.
Aku langsung menyesal. Aku tidak berhak marah.
“Tunggu,” aku memohon.
Dia tidak berhenti, jadi aku mengejarnya.
111
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
“Maafkan aku, sikapku tadi itu kasar. Aku tidak bilang itu tidak benar,” —tidak masuk
akal membayangkan akan menyakiti dia—“tapi tetap saja itu kasar.”
“Kenapa kau tidak meninggalkanku sendirian?”
Percayalah, aku ingin mengatakannya. Aku sudah mencobanya.
Oiya, dan juga, aku benar-benar jatuh cinta padamu.
Santai.
“Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi kau mengahalangiku.” sebuah kejadian terlintas
di benakku dan aku tertawa.
“Apa kau berpkepribadian ganda?” Dia bertanya.
Pasti kelihatannya seperti itu. Moodku tidak jelas, begitu banyak emosi melandaku.
“Kau melakukannya lagi,”
Dia mendesah. “Baik lah. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Aku bertanya-tanya, jika seminggu setelah sabtu depan...” aku mendapati ekspresi
syok di wajahnya, dan harus menahan tawa lagi. “Kau tahu, hari pesta dansa musim semi—”
Dia memotongku, akhirnya kembali menatapku. “Apa kau mencoba melucu?”
Ya. “Biarkan aku menyelesaikannya.”
Dia menunggu diam. Giginya menggigit bibir bawahnya yang lembut.
Pemandangan itu mengalihkan aku selama sedetik. Aneh, reaksi yang ganjil menggeliat
dari inti kemanusiaanku yang terlupakan. Aku mengusirnya agar dapat terus memainkan
peranku.
“Kudengar kau akan pergi ke Seattle hari itu, dan aku bertanya-tanya kalau-kalau kau
butuh tumpangan?” Aku menawarkan. Aku menyadari, daripada hanya menanyakan
rencananya, lebih baik ikut sekalian.
Dia menatapku kosong. “Apa?”
“Apa kau butuh tumpangan ke Seattle?” berdua dalam mobil bersamanya—
tenggorokanku terbakar hanya dengan memikirkannya. Aku mengambil napas dalam-dalam.
Biasakan.
“Dengan siapa?” matanya melebar dan penuh tanya lagi.
“Denganku tentu saja,” aku menjawab pelan.
“Kenapa?”
112
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
Apa sebegitu mengejutkannya bahwa aku ingin menemani dia? Pasti dia mengartikan
yang terburuk dari tindakanku yang lalu.
“Well,” aku menjawab sesantai mungkin, “Aku berencana pergi ke Seattle dalam
beberapa minggu kedepan, dan jujur saja, aku tidak yakin apa trukmu sanggup kesana.”
kelihatannya lebih aman menggodanya daripada menjawab serius.
“Trukku baik-baik saja, terima kasih banyak atas perhatianmu,” dia menyahut dengan
keterkejutan yang sama. Dia mulai jalan lagi. Aku menyamakan langkahku.
Dia tidak menjawab tidak, jadi kumanfaatkan celah itu.
Apa dia akan berkata tidak? Apa yang akan kulakukan jika begitu?
“Tapi apa trukmu bisa sampai dengan satu kali isi bensin?”
“Kupikir itu bukan urusanmu,” Dia menggerutu.
Itu masih bukan tidak. Dan jantungnya berdetak lebih cepat lagi, napasnya bahkan lebih
cepat.
“Penyia-nyian sumber daya yang tidak dapat diperbaharui adalah urusan semua orang.”
“Jujur saja, Edward, aku tidak mengerti denganmu. Kupikir kau tidak mau berteman
denganku.”
Hatiku bergetar ketika ia mengucapkan namaku.
Bagaimana bisa bersikap cuek dan jujur sekaligus? Well, jauh lebih penting untuk jujur.
Terutama pada saat ini.
“Aku bilang akan lebih baik jika kita tidak berteman, bukannya aku tidak mau jadi
temanmu.”
“Oh, terima kasih, itu menjelaskan segalanya,” dia berkata sinis.
Dia berhenti, dibawah atap kafetaria, dan bertemu pandang denganku lagi. Detak
jantungnya tidak beraturan. Apa dia takut?
Aku memilih kalimatku hati-hati. Tidak, aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi mungkin
dia cukup cerdas untuk meninggalkan aku, sebelum terlambat.
“Akan lebih...bijaksana jika kau tidak berteman denganku.” melihat kedalam mata
coklat-mudanya yang dalam, aku tidak mampu mempertahankan sikap cuek-ku. “Tapi aku
lelah berusaha menjauh darimu, Bella.” kalimat itu terucap dengan terlalu banyak perasaan.
Napasnya terhenti, dan sedetik kemudian kembali. Itu membuatku cemas. Seberapa
113
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com
besar aku menakuti dia? Well, aku akan segera tahu.
“Maukah kau pergi ke Seattle denganku?” aku bertanya apa adanya.
Dia mengangguk. Jantungnya berdebar-debar sangat keras.
Ya. Dia berkata ya pada ku.
Kemudian kesadaran menghantamku. Seberapa besar dia harus membayar ini?
“Kau benar-benar harus menjauhi aku,” aku memperingatkan dia. Apa dia
mendengarku? Apa dia akan berhasil melarikan diri dari ancamanku? Apa aku bisa
melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya dariku?
Santai... aku meneriaki diriku sendiri. “Sampai ketemu di kelas.”
Aku harus berkonsentrasi menahan diri agar jangan sampai lari dan terbang.